Varian Stablecoin dengan token USDT saat ini total supply yang ada sudah mencapai lebih dari USD 10 milyar. Dirilis berdasarkan laporan portal Messari hari ini, token USDT menjadi satu-satunya varian stablecoin dengan kapitalisasi pasar yang melebihi USD 1 milyar.
Untuk segmen yang hanya sebatas varian stablecoin, kapitalisasi pasar Tether (USDT) ini mulai berada di posisi 3 besar berdasarkan coinmarketkap. Posisi pertama masih tidak berubah, Bitcoin (BTC) di posisi puncak, Ethereum (ETH) di posisi kedua, dan Tether (USDT)di posisi ketiga.
Di awal tahun 2020 ini saja, pertumbuhan Tether yang terjadi mencapai 144 persen. Pertumbuhan di tahun 2020 itu kurang lebih sebesar USD 4,1 milyar atau setara dengan Rp. 58,8 trilyun.
Meski demikian, ada terpaut perbedaan data antara versi Messari dengan CoinGecko ataupun Coinmarketcap. Menurut CoinGecko dan Coinmarketcap, kapitalisasi pasar untuk Tether USDT ini masih di angka USD 9 milyar. Belum mencapai lebih dari USD 10 milyar. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada kenaikan yang cukup signifikan di tahun 2020, meskipun menjadi tahun ditengah pandemic covid 19.
Sebagai perbandingan, untuk varian stablecoin lain, USDC yang mulai diluncurkan pada bulan Oktober 2018, saat ini mancapai kapitalisasi pasar sebesar USD 930 juta. Meningkat sekitar USD 450 juta sejak awal Januari 2020.
Token Stablecoin USDT Menjadi Masalah?
Apakah perkembangan stablecoin token Tether USDT ini adalah hal yang bagus? Atau justru menjadi masalah krusial?
Sudah sejak lama, Tether USDT ini sudah dinilai cukup kontroversial. Persepsi ini awalnya banyak didukung lantaran beberapa pihak di Bitfinex sebagai bursa kripto penerbit USDT dianggap terlibat skandal Paradise Papers.
Bursa kripto Bitfinex saat ini memiliki volume perdagangan setara dengan 4.803 BTC dalam 24 jam terakhir. Total itu senilai dengan USD 44 juta, atau kurang lebih Rp. 635,6 milyar dalam 24 jam terakhir.
Beberapa tokoh kripto seperti Tim Swanson, Charlie Lee, maupun Barry Leybovich, juga kerap menyatakan kekhawatirannya terhadap potensi Tether. Salah satu masalah yang paling dianggap paling krusial, adalah keraguan soal cadangan USD yang sebenarnya.
Satu hal lain yang tidak kalah pentingnya, adalah potensi “Pump and dump”. Jika suatu saat Tether bermasalah, Tim Swanson menilai Tether akan memberikan dampak yang besar terutama pada bursa-bursa kripto yang juga memperdagangkan token stablecoin itu.
Namun pihak Bitfinex sendiri juga tidak pernah diam untuk memberikan sanggahan. Meskipun saat itu pihak SEC juga sudah mulai pasang mata secara serius terhadap Bitfinex dan juga operasional token Tether USDT.
Sampai-sampai di tahun 2018 silam, Noble Bank International juga harus diaudit secara seksama oleh regulator di Puerto Rico. Alasannya Noble Bank International di waktu itu menjadi mitra Bitfinex maupun Tether.
Berdasarkan data di Bitmex Research tahun yang sama, 2018, harga bitcoin di bursa Bitfinex menunjukkan relative lebih tinggi dibandingkan bursa-bursa kripto lain. Harga di Bitcoin (BTC) di Bitfinex relatif punya selisih sebesar 1,75% lebih tinggi. Hingga cukup banyak beredar luas, bahwa dipenghujung tahun 2017 ketika harga mencapai titik puncak tertinggi, banyak terkait dengan pump and dump. Salah satunya adalah karena token stablecoin Tether.
Bagi bursa-bursa kripto besar, baik seperti Bitfinex, Binance, Huobi dan lainnya, juga menjadi tren khusus untuk memperbesar margin pendapatan bursa mereka. Tren ini bisa juga menjadi sebuah hal yang buruk. Pasalnya indikasi pump and dump di bursa bisa dengan mudah melalui native token terbitan bursa-bursa itu. Di satu sisi lainnya, USDT dengan kapitalisasi terbesar di varian Stablecoin, juga menjadi jembatan penghubung termudah. Interaksi antara mata uang digital kripto dengan Fiat, diyakini banyak orang sudah cukup dimudahkan dengan kehadiran token USDT. Meskipun, pada akhirnya persepsi inipun masih pro dan kontra.