Blockchain Untuk Industri Musik – Mampu Memecah Banyak Kebuntuan Para Musisi
Blockchain Untuk Industri Musik. Nepster adalah sebuah situs sharing mp3 menggunakan jaringan peer-to-peer. Didirikan pertama kali oleh Shawn Fanning di tahun 1999. Situs Napster kemudian harus ditutup karena banyak bermasalah dengan pelanggaran hak cipta.
Kehadiran Napster dianggap banyak merugikan pelaku industri musik, terlebih bagi para musisi. Tentu saja, hal tersebut berkaitan dengan hak cipta, dan juga terkait dengan pembagian royaltinya. Di tahun 2001, putusan pengadilan mengharuskan Napster ditutup.
Napster juga membayar pencipta lagu dan pemilik hak cipta sebesar 26 juta dolar sebagai kompensasi ganti rugi, dan 10 juta dolar untuk royalti. Namun, dengan kehadiran Napster ini, telah banyak mempengaruhi industri musik, khususnya bagi para pelaku industri musik di luar negeri.
Marcus O’Dair, seorang pengajar musik populer dari Universitas Middlesex menuliskan artikelnya di theconversation. Ia menulis tentang bagaimana teknologi Blockchain dapat membantu para musisi dapat mencari nafkah dari bermusik. Ia menggarisbawahi semenjak kehadiran napster, telah banyak mempengaruhi dunia industri musik. Para musisi musik ini, menjadi cukup kesulitan untuk mencari nafkah.
Sejumlah industri musik kemudian mulai banyak yang berpaling menggunakan teknologi khusus sebagai solusi permasalahan tersebut. Imogen heap menggunakan Mycelia. Benji Rogers, Pledge Music, meluncurkan Dot Blockchain Music, Ujo Music, Blokur, Aurovine, Resonate, Peertracks, Stem, maupun Bittunes. Tidak ketinggalan, Tatiana Moros juga bahkan membuat koin kripto sendiri untuk penjualan karya-karyanya.
Keseluruhan pada proyek-proyek musik tersebut, mendasarkan pada teknologi Blockchain. Teknologi Blockchain ini, telah menjadi tulang punggung Bitcoin, dan juga cryptocurrency lainnya. Blockchain ini, terdiri dari serangkaian block data yang tersusun menggunakan kriptografi. Disusun berdasarkan urutan secara kronologis. Dan menggunakan dua fitur key.
Semua yang disimpan di dalam Blockchain, akan disimpan secara rapi, akan ada selamanya, tidak dapat dimodifikasi. Kemudian, seluruh data dan informasi yang tersimpan di dalamnya, didistribusikan tidak secara terpusat. Dengan jaringan peer-to-peer, memungkinkan salinan tersebut disimpan secara independen satu sama lain.
Dengan cara ini, keamanan data dan informasi yang tersimpan menjadi cukup aman. Hampir sulit, dan bisa dikatakan hampir tidak mungkin untuk ditembus. Teknologi Blockchain juga banyak dianggap mampu menjadi solusi masalah yang dihadapi beragam industri. Seperti perbankan, perdagangan berlian, dunia industri fashion, bahkan pemilik situs judi online sekalipun.
Disebutkan dalam artikel Marcus O’Dair, bahwa teknologi Blockhain juga berpotensi untuk dapat mengatur masyarakat. Dan teknologi inipun, bisa berguna dalam industri musik, dapat membantu para musisi. Marcus O’Diar juga mencoba menjelaskan bagaimana teknologi blockchain untuk industri musik ini dapat membantu para musisi.
Bukti Kepemilikan Hak Cipta
Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh para musisi adalah karena selama ini tidak ada database yang secara komprehensif dapat menunjukkan bukti nyata kepemilikan hak cipta. Menurut Marcus, ada beberapa database, namun tidak mampu mendetailkan setiap lagunya. Sehingga ketika ada sebuah trek lagu yang muncul, rincian database itu sering menghasilkan detail informasi yang selalu tidak cocok.
Vinay Gupta, salah seorang yang sudah cukup populer di komunitas kripto, pernah membicarakan hal serupa tentang Blockchain. Menurutnya, Blockchain adalah tentang dua hal, yakni database, dan juga jaringan. Jika hak cipta musik dimasukkan dan dicatat di dalam Blockchain, menggunakan sidik jari berbasis kriptografi seperti barcode, maka update informasi data itu akan bisa diakses oleh semua pengguna. Jadi tidak ditahan oleh para penjaga gerbang tertentu dalam sistem yang terpusat.
Pembayaran Royalti
Masalah kedua yang kerap dihadapi adalah soal pembayaran. Pendengar, dapat mengakses trek lagu hanya dengan satu klik saja. Namun berdasarkan laporan dari Rethink Music, pembayaran royalti itu bisa memakan waktu tahunan. Smart Contract, dapat diimplementasikan ke dalam Blockchain menggunakan software. Smart Contract ini dapat membagi royalti dengan proporsi yang telah disepakati. Bahkan secepat saat trek lagu itu di download, maupun saat streaming.
Jika dibandingkan dengan micropayment yang ada sekarang, bisa dikatakan hal itu tidak dapat dan sulit untuk dilakukan. Namun jika sistem itu dibangun menggunakan teknologi cryptocurrency seperti Bitcoin, hal itu dapat menjadi fasilitator pembayaran. Bahkan jika pembayaran itu hanya berjumlah sepersekian sen saja.
Mekanisme Penghitungan Royalti
Masalah ketiga adalah tentang mekanisme yang digunakan untuk pembayaran royalti. Seringkali, mekanisme yang dipakai untuk mengkalkulasi berapa royalti yang harus dibayarkan cukup buram dan tidak jelas. Marcus menjelaskan, pendapatan para musisi sering berakhir pada “Black Box”. Dan hal itu berada di luar jangkauan para musisi maupun pencipta lagu. Tidak ada mekanisme yang jelas apakah royalti itu menjadi milik musisi atau pencipta lagunya.
Marcus kemudian menerangkan dalam tradisi perjanjian non disclosure misalnya, musisi ataupun manager, tidak dapat benar-benar mengaudit pembayaran royalti tersebut. Karena mereka sama-sama tidak yakin tentang besaran jumlah yang seharusnya mereka terima, semanjak mekanismenya seringkali tidak jelas.
Modal Di Masa Mendatang
Masalah yang terakhir adalah soal modal tunai yang harus dimiliki oleh musisi agar dapat menciptakan musik baru di masa mendatang. Marcus O’Dair menerangkan, seringkali ada persepsi yang menjelaskan bahwa musisi atau artis musik tidak perlu lagi sebuah label rekaman. Kenyataannya, mereka juga membutuhkan dana untuk dapat bersaing secara komersial. Musisi juga masih membutuhkan support dari label besar. Tiga label rekaman besar yang masih ada hingga sekarang seperti Sony, Universal, dan juga Warner.
Dengan menggunakan teknologi Blockchain, dapat digunakan untuk membantu mencari penyandang dana baru. Tentu saja hal itu termasuk juga untuk mencari dan menarik investor. Kecenderungan tentang ini juga bisa dilihat bagaimana sebuah startup didirikan. Para investor di sebuah startup, biasanya akan diberikan reward dari pendapatan yang nantinya diperoleh di masa depan. Pendapatan ini juga bisa dipantau, dan dapat dibayarkan secara otomatis melalui sebuah smart contract.
Karena transparansi dan mudahnya melacak transaksi, teknologi ini juga dapat mendukung crowdfunding. Jadi ketika seorang musisi menerbitkan saham, maka saham itu juga bisa dicairkan dimasa depan setelah ada pendapatan.
Tentang bagaimana crowdfunding dapat berhasil bisa dilihat seperti kesuksesan DAO (Decentrelised Autonomous Organisation). DAO bisa meraih pendanaan hingga jutaan dolar. Namun beberapa waktu lalu, sistem DAO ini masih rentan, hingga penyerang berhasil memperoleh jutaan Ether dari aksinya. Bitcoin juga pernah mengalami tragedi saat terjadi skandal Mt Gox. Meskipun skandal itu berada diluar konteks Bitcoin, karena Mt Gox berlaku sebagai intermediaries atau pihak ketiga.
Terkait hal itu, Marcus juga menganggap bahwa teknologi Blockchain juga menyisakan potensi yang beresiko. Meski demikian, Blockchain memang telah dapat mendukung industri perbankan, bahkan juga pemerintah. Sejumlah industri juga telah berinvestasi untuk menggunakan teknologi ini dengan jumlah yang cukup signifikan.
Misalnya saja Stem, perusahaan berplatform streaming online ini bahkan telah meningkatkan investasinya sejumlah 4,5 juta dolar di tahun 2016 ini. Dan secara teknis, teknologi Blockchain untuk industri musik memang berpotensi untuk dapat mengubah industri musik.