Di Indonesia, industri farmasi menjadi salah satu sektor penggerak perekonomian. Seiring dengan derasnya perkembangan jaman, industri farmasi juga menghadapi tantangan cukup besar. Penggunaan PHB dClinic Global, bisa menjadi pemecah kebuntuan industri farmasi dan biotek.
Lebih spesifik di Indonesia, pada tahun 2017 silam tercatat sebanyak 754 dari 1.140 pedangan besar farmasi (PBF) yang melakukan pelanggaran. Atau tidak memenuhi ketentuan peraturan (TMK) yang berlaku.
Masalah-masalah tersebut meliputi peredaran obat-obatan palsu, pembelian obat dari penyalur secara ilegal, ataupun penyimpanan obat yang tidak semestinya. Di tahun 2019 lalu, juga sempat terjadi penggunaan obat kadaluarsa yang dilakukan oleh salah satu Puskesmas Kamal Muara. Tantangan semacam ini menjadi tantangan yang nyata.
Pada kasuistis penjualan obat palsu, menjadi salah satu hal yang cukup sulit untuk dipecahkan. Paling memberatkan adalah pada proses monitoring aktifitas penjualan obat yang terjadi. Instrumen yang paling bisa menjawab tantangan tersebut adalah dengan pemanfaatan teknologi.
Stephen Moo, MD dClinic Indonesia juga menyatakan hal senada. Menurutnya, industri farmasi akan banyak beralih dengan mengadopsi dan memanfaatkan perkembangan teknologi. Blockchain adalah salah satu teknologi yang paling berperan untuk bisa melakukan monitoring obat-obatan medis.
“Di bawah tekanan regulasi, sejumlah besar produsen, pengirim dan pedagang grosir farmasi mengadopsi blockchain untuk melacak obat resep. Industri farmasi di A.S. berada di bawah pengaturan regulasi untuk meningkatkan kemampuan melacak obat-obatan yang diproduksi dan dikirimkan secara akurat untuk disimpan dan untuk fasilitas kesehatan. Peraturan tersebut termasuk melacak obat yang dikembalikan oleh toko dan fasilitas kesehatan untuk dijual kembali,” terangnya.
Lebih jauh Stephen menambahkan, “Saat ini, industri menggunakan patchwork basis data pusat berdasarkan standar Electronic Data Interchange (EDI) yang menampilkan koneksi point-to-point antara produsen dan distributor. Sistem ini tergolong mahal dan membuat interoperabilitas skala besar hampir mustahil. Pendekatan basis data pusat juga menimbulkan risiko pengalihan, pemalsuan dan kesenjangan kepercayaan antara siloed systems,” tambahnya.
Pemanfaatan teknologi blockchain ini dengan jaringan terdesentralisasinya dipercaya mampu berbagi informasi secara real time dengan partisipan. Menurut Stephen, langkah pemanfaatan teknologi ini sedang diuji coba oleh industri farmasi sebagai solusi untuk melacak obat-obatan telah diproduksi dan dikirimkan.
Berdasarkan informasi dari Stephen, PHB revolusioner dClinic saat ini telah dipilih oleh dua Perusahaan Bioteknologi Besar di AS untuk mengelola IP mereka. Baik untuk pelacakan melalui rantai pasokan pembuatan obat lengkap, maupun pengoperasian uji klinis yang disetujui FDA untuk terapi obat-obatan baru.
“dClinic akan segera mempublikasikan pengumuman besar mengenai masuknya dClinic ke Industri Farmasi Internasional dan penyediaan Layanan PHB di Batam – Indonesia sebagai bagian dari program Batam Medical Blockchain,” terang Sthephen.