Dalam beberapa hari terakhir, narasi Bitcoin tidak ramah lingkungan muncul kembali menjadi perdebatan panas. Latar belakang dibalik narasi itu adalah besarnya konsumsi listrik bitcoin, dinilai banyak berasal dari fossil, dan tidak ramah lingkungan.
Elon Musk, kembali memunculkan perdebatan panas melalui ciutan akun Twitter pribadinya hari Kamis (13/5/21).
Jauh sebelumnya, Tesla memang sempat menerima pembayaran Bitcoin. Namun beberapa waktu setelah itu, logo pembayaran bitcoin di situs Tesla tiba-tiba dihapus. Yang memungkinkan saat itu, tidak karena bitcoin, melainkan kemungkinan terbentur dengan peraturan Lemon Laws di AS. Saat itu memang tidak pernah ada klarifikasi dari pihak Tesla.
Ternyata, melalui Ciutan Elon Musk hari Kamis tersebut, Tesla menjawab dengan membangun narasi bahwa bitcoin tidak ramah lingkungan. Sehingga Tesla tidak lagi menerima pembayaran dengan Bitcoin. Alih-alih dengan dasar itu, Tesla ternyata juga tidak menjual kepemilikan bitcoin dalam neracanya.
Padahal pada laporan keuangan Tesla kuartal I menyebutkan laba senilai 1,46 trilyun dari penjualan 10% simpanan bitcoin di perusahaan itu. Artinya, masih ada 90% bitcoin yang masih belum dijual.
Di sisi lain, Elon Musk dan Tesla, mencoba mengeruk keuntungan lain setelah mendapat pendanaan dari Doge melalui proyek DOGE-1. Sedangkan Dogecoin, koin varian Altcoin hasil copy paste Bitcoin ini dijuluki sebagai koin lelucon. Tidak dijelaskan secara terperinci berapa besaran nominal yang diperoleh Tesla dari pendanaan itu.
Elon Musk Melawan Bitcoin
Pernyataan Elon melalui Twitter itu secara langsung juga berarti Elon berupaya untuk melawan Bitcoin. Sama halnya Tesla berupaya membangun narasi Bitcoin tidak ramah lingkungan. Sejumlah pihak baik dari pemerhati lingkungan justru banyak menyerang Tesla, terlebih dari komunitas Bitcoin.
Dibalik itu semua, yang paling terkesan justru inisiatif bisnis, keuntungan pendanaan dari proyek DOGE-1 yang dibangun dari Dogecoin dan Tesla.
Terbukti, di hari yang sama, Elon kembali menegaskan terkait kerja sama dengan proyek Dogecoin.
Di sisi lain, Elon dan Tesla juga dihimpit dengan kebijakan pajak karbon. Pasalnya, Tesla bakal bisa terkena pajak karbon lebih tinggi dibandingkan perusahaan otomotif serupa sekelas, Honda, Ford dan lain-lain.
Banyak kritik yang bermunculan menanggapi ciutan Elon. Beberapa fakta dalam komentar yang memberikan kritik mencoba membuka bahwa Tesla sendiri tidak lepas dari penggunaan energi fossil.
Alex Epstein, salah satu pemerhati lingkungan dan penggunaan energi fossil di sektor Industrial juga mengkritisi sikap Elon Musk dan Tesla. Peryataan tersebut seolah-oleh menyebut Tesla adalah perusahaan ramah lingkungan, sedangkan faktanya tidak.
Menurut Alex Epstein, Tesla dan seluruh infrastrukturnya bergantung penuh dari penggunaan energi fossil. Mulai dari material, bahan mentah, manufaktur, transportasi, sampai pengisian listrik untuk produk mobil Tesla sendiri.
Maraknya Narasi Bitcoin Tidak Ramah Lingkungan
Daya konsumsi energi listrik bitcoin, memang sudah cukup lama seolah kompakan digunakan untuk membangun narasi bitcoin tidak ramah lingkungan. Perdebatan ini sudah lama muncul, bahkan sejak saat bitcoin masih dalam perkenalan melalui diskusi-diskusi mailing list Satoshi Nakamoto.
Hal tersebut sejak pemilihan SHA256 yang digunakan Bitcoin untuk mekanisme proof of work dalam pertambangan. Pasalnya, SHA256 akan memberikan tingkat keamanan yang lebih tinggi. Namun, juga memberikan sifat yang ‘mahal’. Di sisi lain, konsensus proof of work, berhasil membuat ekosistem Bitcoin menjadi terdesentralisasi.
Seiring berjalannya waktu, kapasitas daya konsumsi energi listrik bitcoin menjadi lebih besar. Jelas, jaringan bitcoin akan semakin aman dan tangguh, jika daya komputasi di jaringan semakin besar, “semakin mahal” untuk bisa ditembus.
Tulisan Dan Kaminsky tentang upayanya untuk hacking bitcoin dan gagal pernah ditulis di Business Insider tahun 2013 silam. Pengalaman almarhum Dan Kaminsky itu kemudian menjadi populer. Hal ini adalah bukti nyata yang sahih, menunjukkan kapabilitas keamanan bitcoin yang tanpa tanding, sampai sejauh ini.
Ketika daya konsumsi energi listrik di ekosistem pertambangan bertambah besar, disinilah perhatian bahwa ekosistem pertambangan dinilai tidak ramah lingkungan mulai muncul kembali di sekitar tahun 2019.
Alex de Vries, melaui tulisan-tulisan yang dimuat di Digiconomist memberikan analisis besarnya daya komputasi bitcoin. Tulisan-tulisan itu kemudian banyak dijadikan sumber referensi berbagai riset turunan serupa, termasuk di berbagai jurnal, hingga peliputan media-media besar.
Adalah Robert Sharrat, CEO dari Reassure Financial Limited Swiss yang pertama kali memberikan kritik berbagai tulisan Alex de Vries di Digiconomist. Robert selama ini punya pengalaman penuh dalam sektor energi listrik dan 8 tahun pengalaman dalam hal sumber daya energi alami.
Menurutnya, semua hasil riset Alex de Vries terkait dengan bitcoin dan potensinya merusak lingkungan adalah ‘sampah‘. Latar belakang kritik Robert Sharrat pun cukup berdasar. Pasalnya Alex de Vries membandingkan bitcoin dengan Mastercard dan VISA. Pembanding itu bukan “apple to apple”.
Bitcoin adalah ekosistem yang bisa berdiri sendiri ‘standalone’, sementara Visa dan Mastercard tidak. Visa dan Mastercard tidak bisa hidup dari ketergantungannya pada sistem perbankan global. Artinya, pembanding yang digunakan juga sudah salah. Jika ingin menghitung kapasitas besaran energi listrik Visa dan Mastercard, maka harus menghitung pula total besaran listrik seluruh perbankan global di dunia, agar perbandingannya menjadi tepat.
Benarkah Bitcoin Tidak Ramah Lingkungan?
Ternyata tidak berhenti sampai disitu. Belakangan muncul kembali hasil riset dari Universitas Cambridge di tahun 2021. Riset ini kemudian memberikan data-data yang sedikit lebih kongkrit. Meskipun, secara keseluruhan memberikan narasi yang sama, bahwa Bitcoin tidak ramah lingkungan.
Padahal, di dalam risetnya sendiri memberikan data bahwa 76% sumber energi listrik untuk POW yang digunakan Bitcoin berasal dari energi terbarukan, atau gabungan. Dan 39 total energi yang digunakan sepenuhnya dari energi terbarukan.
Total sebaran energi terbarukan yang disebut dalam riset Cambridge banyak berasal APAC, Eropa, dan Amerika Utara. Eropa dan Amerika utara terbesar hingga mencapai 60% – 70% energi terbarukan. Sedangkan rata-rata dari APAC sekitar 25%.
Besaran energi terbarukan yang paling banyak digunakan untuk pertambangan berasal dari hydopower sebesar 62%. Hal ini sebetulnya sudah membantah secara riil bahwa bitcoin tidak ramah lingkungan. Disadari memang, bahwa masih ada sebagian yang menggunakan energi listrik yang berasal dari batu bara. Namun, hal ini pasti juga akan berubah. Terlebih, besaran prosentase itu justru lebih kecil dibandingkan yang sudah menggunakan energi terbarukan.
Perbankan Global Justru Lebih Tinggi Menggunakan Energi Fossil
Pada materi kuliah yang disampaikan Gary Gensler di MIT pada tahun 2018 silam, memberikan gambaran jelas bahwa konsumsi energi listrik bitcoin hanya satu pertiga dari 1% total konsumsi listrik dunia.
Gary Gensler, yang saat ini menjabat sebagai ketua SEC berpendapat bahwa perbankan global justru memiliki daya konsumsi energi listrik jauh lebih besar.
Berdasarkan hasil riset dari Arcane Research di sekitar bulan Februari, juga memberikan data serupa. Jejak karbon bitcoin hanya 37Mt, lebih tinggi jejak karbon yang digunakan untuk melihat Youtube, atau bermain game di seluruh dunia.
Sementara jejak karbon tertinggi, justru berasal dari sektor teknologi selain Bitcoin, mencapai 1.600mt lebih.
Riset lainnya sebagai pembanding, muncul dari Ark Investment pada tahun 2020. Ekosistem bitcoin, memang lebih mudah untuk kalkulasi banyak hal lantaran semua terkait bitcoin terbuka secara publik. Termasuk dalam hal daya energi listrik yang digunakan.
Jejak energi bitcoin, juga bisa dihitung dari besaran total penggunaan listriknya. Laporan Ark Investment membandingkan tingkat efisiensi besaran energi listrik bitcoin, dengan perbankan secara global, dan penambangan emas.
Hasilnya, besaran total biaya untuk energi listrik bitcoin jauh lebih efisien dibandingkan penambangan emas. Sementara terbesar justru berasal dari perbankan secara global, di seluruh dunia. Secara eksplisit, hasil riset di Ark Investment tersebut memang sebanding dengan yang diungkapkan oleh Gary Gensler.
Ketua SEC tersebut pernah menyebutkan hal yang sama, bahwa daya konsumsi energi listrik perbankan global justru jauh lebih besar ketimbang Bitcoin.
Dibalik semua hal tentang perdebatan panas terkait bitcoin, menunjukkan bahwa Bitcoin sebenarnya menjadi pintu pembuka bagaimana ekosistemnya akan terus berevolusi dan makin ramah lingkungan. Termasuk dorongan-dorongan untuk terus menggunakan energi-energi terbarukan secara lebih ‘riil’.
(gambar: Batubara by Pavlofox Batubara via Pixabay)