Blockchain Sebagai Tonggak Desentralisasi Di Dalam Sistem Pembayaran Elektronik
Blockchain Sebagai Tonggak Desentralisasi. Dalam sejarah panjang sistem pembayaran elektronik, meski Bitcoin bukanlah menjadi yang pertama dalam sistem pembayaran elektronik, namun sebelumnya memang telah cukup banyak sistem pembayaran elektronik yang menemui kegagalan saat mencoba untuk menggapai desentralisasi.
Bitcoin lalu muncul sebagai pembeda. Karena kemampuannya untuk mewujudkan desentralisasi itu dengan Blockchain. Dan kenyataaannya, teknologi Blockchain ini mampu melakukannya. Bahkan jauh melebihi capaian mata uang digital lain sebelum-sebelumnya. Blockchain pada akhirnya dapat digunakan sebagai jalan untuk mendesentralisasikan banyak hal.
Karena kapabilitasnya memang dapat diuji, bisa ditelaah sendiri secara ilmiah. Hal inilah yang seringkali dianggap menjadi sebuah potensi besar untuk masa depan. Namun di tengah perjalanan, Bitcoin dan teknologinya ini pun sering dijumpai adanya silang pendapat. Tentu saja karena dengan desentralisasi ini, secara tidak langsung akan berelasi dengan sebuah sistem maupun lembaga yang terpusat lain. Dalam hal ini dapat berelasi juga dengan saham, obligasi, komoditas ataupun hal lain.
Namun, secara ilmiah Blockchain memang mampu melakukan hal itu. Blockchain dapat menangani dan mengkontrol “kepemilikan”, dengan menggunakan Smart Contract. Hal ini juga yang menjadi alasan Blockchain ini dapat membuka jalan, desentralisasi sebuah properti. Awalnya smart contract berasal dari ide dan gagasan yang pernah ditemukan oleh Nick Szabo pada tahun 1997. Saat itu, Ia mempublikasikan paper dengan judul “The idea of smart contracts”.
Dibawah ini, ada beberapa contoh bagaimana Blockchain Bitcoin mampu menjadi jembatan, untuk mendesentralisasikan beberapa hal. Mirip juga dengan penanganan atau mengontrol kepemilikan properti tersebut seperti dalam penggunaan smart contract. Lalu di dalam Bitcoin, salah satu yang mirip dengan smart contract dan digunakan untuk mengontrol kepemilikan ini disebut dengan Smart Property.
Smart Property
Smart Property yang dipakai untuk mengontrol kepemilikan ini, bisa meliputi properti-properti material fisik seperti sebuah mobil, rumah, smartphone, tanah, ataupun yang lain. Tentu saja Smart Property tidak hanya dalam benda-benda fisik, namun termasuk juga untuk properti-properti non fisik seperti saham di perusahaan, hak akses remote computer dan juga yang lain.
Karena mampu mengontrol dan menangani kepemilikan properti baik fisik dan non fisik, maka pada akhirnya Smart Property ini dapat dipertukarkan dan diperdagangkan. Bahkan mampu meminimalisir kurangnya tingkat kepercayaan antara kepemilikan properti dari satu orang ke orang lainnya. Sehingga ini tentu akan mampu mengurangi terjadinya penipuan.
Contoh Dan Analogi
Misalnya dalam sebuah mobil modern mempunyai dua mekanisme pengunci utama:
- Pemilik dapat mengunci pintu mobil secara fisik, dan sebuah immobilizer. Sehingga dapat mencegah pencurian mobil jika ada seseorang yang menghidupkan mesin.
- Pemilik mobil dapat menggunakan sebuah key yang mampu dijalankan melalui wireless. Sehingga key itu dapat mengotorisasi penguncian pintu, dan mengunci mesin. Biasanya Key ini bisa diakses hanya dengan menekan sebuah tombol.
Ajaibnya, mekanisme pengamanan seperti itu bisa juga dilakukan di dalam kriptografi. Sehingga dalam contoh untuk melindungi dari pencurian mobil di atas dapat dilakukan. Biasanya algoritma yang dipakai sebagai key kriptografi bersifat simetris. Namun bisa juga dengan menggunakan skema digital signature seperti ECDSA yang berdasar pada kriptografi asimetris.
Dalam contoh diatas, katakanlah pada mobil itu telah menyimpan salinan public key. Jika seorang pencuri hendak mencoba membuka kunci pintu, dan berniat untuk menyalakan mobil, maka mobil akan mengirimkan serangkaian tantangan atau problem secara acak. Lalu meminta pencuri itu untuk menandatangani menggunakan private key. Sehingga pencuri hanya akan dapat mengakses, jika dan hanya jika pencuri tersebut dapat menandatangani dengan private key yang dimiliki oleh pemilik mobilnya. Hanya saja, untuk mewujudkan hal ini dan mampu bekerja dengan nyata jadi cukup sulit.
Metode kedua yang bisa dilakukan untuk mewujudkan contoh diatas adalah dengan cara hardcoded key secara langsung oleh produsen. Sehingga mobil mempunyai kapabilitas teknis yang secara terus menerus untuk menolak key yang digunakan pencuri karena itu tidak termasuk dalam hardcoded tersebut. Dalam hal ini, mobil dapat terus-menerus menerima block baru yang terkirim dengan wireless dari blockchain seperti halnya di dalam Bitcoin. Ketika mobil diproduksi, key untuk pengguna mobil pertama ditambahkan ke dalam blockchain menggunakan sebuah transaksi khusus, dan mobil di program dengan sebuah ID transaksi.
Upaya diatas, dilakukan jika pada mobil itu terjadi perubahan kepemilikan. Lalu mengupdate lagi blockchain untuk memberikan otorisasi dalam transaksi baru yang dilakukan. Sehingga transaksi baru yang terjadi itu, juga menggunakan ID transaksi baru sebagai sebuah input. Lalu menetapkan satu public key baru sebagai outputnya. Dan itu akan dapat ditandatangani menggunakan private key oleh pemilik baru mobil tersebut.
Sebagai Media Pertukaran Yang Aman
Misalkan berdasarkan contoh diatas tadi, Nita memiliki sebuah mobil mewah. Lalu ia ingin menjual mobil tersebut kepada Rudi. Ternyata Nita pun dapat melakukan penjualan mobilnya itu secara digital. Sebut saja, dengan jalan menjual mobilnya itu, Nita dapat menggunakannya untuk biaya pendidikan ataupun untuk bertamasya ke luar negeri.
Tentu saja hal itu bisa dilakukan dengan menggunakan koneksi internet. Sedangkan Rudi, bisa membayar mobil milik Nita tersebut menggunakan Bitcoin. Namun tentu saja transaksi ini dapat membawa resiko. Jika tanpa menggunakan media pihak ketiga. Karena baik Nita dan Rudi, sama-sama berpotensi untuk mangkir dari kewajiban menjalankan dan menuntaskan transaksinya.
Dalam hal ini, selama mata uang yang akan digunakan dalam transaksi itu berada di dalam blockchain yang sama, maka antara Nita dan Rudi dapat membuat satu transaksi tunggal. Namun satu transaksi tunggal tersebut bersamaan pula dengan mentransfer kepemilikan mobilnya, dan juga pembayaran atas mobil tersebut.
Teknisnya, dalam transaksi itu akan menentukan dua input. Satu input berupa kepemilikan Nita, dan input kedua adalah pembayaran yang dilakukan oleh Rudi. Lalu menentukan dua output juga, yakni kepemilikan mobil kepada Rudi, dan pembayaran Rudi kepada Nita. Transaksi itu, mengharuskan kedua belah pihak untuk menandatangani keduanya. Jika hanya salah satu pihak saja yang menandatangani, maka transaksi itu menjadi tidak valid.
Jika salah satu pihak telah menandatangani, maka rincian transaksi itu tidak dapat diubah lagi. Setelah ditandatangani, lalu transaksi itu disiarkan ke blockchain, dan menunggu paling tidak setelah 6 konfirmasi transaksi. Sehingga Rudi akan mendapat akses setelah transaksi itu berhasil. Jadi secara bersamaan, pembayaran yang dilakukan Rudi kepada Nita juga akan dikonfirmasi. Dan itu tidak bisa terjadi tanpa keduanya.
Namun tentu saja, contoh diatas hanyalah salah satu contoh saja yang bisa dilakukan. Untuk memberikan gambaran bagaimana kemampuan Blockchain sebagai tonggak desentralisasi. Dan juga berpotensi mendesentralisasikan di berbagai protokol dalam dunia nyata. Karena pada dasarnya, masih banyak lagi yang bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi blockchain ini.