BitcoinMedia – Penemu C++. Bitcoin adalah mata uang kripto fenomenal yang sudah diperkenalkan sejak 1998. Saat itu adalah kali pertama Satoshi Nakamoto, pseudonym penggagas Bitcoin mempublikasikan makalah resmi bitcoin (Whitepaper).
Bitcoin sendiri dibangun menggunakan bahasa C++. Namun siapa sangka jika ternyata penemu C++ Bjarne Stroustrup bahkan merasa menyesal karena Bitcoin menggunakan bahasa pemprograman yang diciptakannya itu. Penemu bahasa pemprograman C++ tersebut sempat muncul di acara podcast yang dibawakan oleh Lex Fridman hari Kamis pekan lalu (7/11/19).
Stroustrup bahkan mengatakan tidak suka sama sekali, ketika mengetahui bahwa Bitcoin ditulis menggunakan bahasa pemprograman C++. Alasannya karena konsumsi daya energi Bitcoin cukup besar. Belum lagi, Bitcoin juga banyak dianggap telah memfasilitasi aktifitas terlarang, meskipun tidak terbukti. Lebih jauh, fungsi itu lebih terkesan sebagai upaya untuk melawan sensor.
Dalam acara podcast yang berdurasi selama hampir dua jam itu sebenarnya banyak diawali mengenai konseptual bahasa pemprograman C++. Bagaimana awal pengembangan saat menciptakan bahasa pemprograman yang sebenarnya merupakan turunan dari bahasa B saat itu.
Hingga kemudian Stroustrup menceritakan perasaannya ketika banyak programmer yang telah menggunakan C++ di berbagai macam program atau aplikasi. Menurutnya, dirinya mengasumsikan saat menciptakan bahasa C++ adalah untuk digunakan dalam menciptakan suatu alat-alat tertentu.
Namun secara pribadi, dirinya juga tidak punya kendali untuk apa dan bagaimana sesuatu yang telah dibuat dari C++ itu digunakan. Berlanjut kemudian penemu C++ ini menyebutkan Bitcoin yang diciptakan oleh Satoshi Nakamoto juga menggunakan C++.
“Jadi saya cukup senang dan bangga karena C++ telah banyak digunakan, namun ada beberapa hal yang saya harap orang tidak melakukannya. Pertambangan Bitcoin adalah contoh favorit saya, itu menggunakan energi yang sama besar seperti konsumsi energi di Swiss, dan kebanyakan melayani tindak kriminal,” katanya.
Konsumsi energi ini dalam pertambangan Bitcoin dibutuhkan dalam mekanisme distribusi unit-unit baru bitcoin (BTC). Mekanisme tersebut dilakukan itu membutuhkan daya energi listrik di dalam perangkat komputer khusus untuk memecahkan puzzle mining sebagai bentuk proof of work. Sederhananya, mekanisme pertambangan tersebutlah yang digunakan untuk mendistribusikan unit-unit baru BTC kepada pihak yang benar-benar telah berkontribusi di dalam jaringan Bitcoin.
Pernyataan penemu C++ ini jelas diluar yang mungkin dibayangkan banyak orang. Orang mungkin berfikir bahwa sudah sepatutnya Bjarne Stroustrup merasa bangga lantaran Satoshi Nakamoto telah menggunakan bahasa C++.
Sebaliknya, pernyataan Bjarne Stroustrup tersebut lebih terkesan terjebak dalam pemaknaan bahwa konsumsi energi Bitcoin yang sama besarnya dengan konsumsi daya energi sebuah negara yang berjumlah penduduk hanya 8 juta orang saja. Stroustrup, nampak terimbas dari sekian banyak isu ekologi Bitcoin yang tidak ramah lingkungan.
Kekhawatiran Daya Konsumsi Energi Bitcoin
Sudah sejak lama kekhawatiran yang terkait dengan daya konsumsi energi Bitcoin ini diperdebatkan. Pada tanggal 28 Januari di tahun 2009 silam, Hal Finney sudah pertama kali menciutkan tentang cara untuk mengurangi emisi CO2 dari hasil implementasi Bitcoin.
Berlanjut kemudian, ada sekian banyak hasil riset konservasi lingkungan yang juga menyoroti hal serupa. Di tahun 2015 misalnya, artikel yang ditulis oleh Christopher Malmo banyak membuka wacana tentang daya konsumsi energi jaringan Bitcoin.
Malmo dalam artikel yang ditulisnya menghitung besaran energi dalam satu transaksi Bitcoin. Hasil perhitungan yang dilakukan adalah bahwa satu transaksi Bitcoin, sepadan dengan daya konsumsi harian 1,6 penduduk di Amerika.
Berlanjut dari artikel Malmo, seorang ekologis lulusan Universitas Leiden tahun 2010, Sebastian Deetman melakukan penelitian serupa di tahun 2016. Sedikit berbeda dengan Malmo, Sebastian Deetman juga membuat perhatian khusus atas perkembangan dan evolusi perangkat pertambangan Bitcoin.
Dalam penelitiannya Deetman juga merinci alat-alat pertambangan Bitcoin yang banyak muncul di dari sepanjang bulan Maret 2014 hingga tahun 2016. Termasuk dengan tingkat efisiensi yang berbeda di tiap-tiap perangkat, sampai pada rata-rata besaran daya komputasinya, beserta rata-rata tingkat kesulitan pertambangan yang relatif terus bertambah besar.
Secara umum, hasil penelitian Deetman menyatakan hal yang serupa dengan Malmo. Bahwa daya komputasi Bitcoin membutuhkan energi listri yang tidak sedikit. Meski Deetman menyebut bahwa efisiensi alat-alat pertambangan Bitcoin sejak tahun itu sudah menunjukkan efeisiensi listrik yang signifikan, namun hasil akhirnya diibaratkan setara dengan total pembangkit listrik di negara Denmark tahun 2020.
Beberapa tahun berselang, muncul berbagai macam penelitian lainnya lagi yang serupa. Yakni terkait dengan daya konsumsi energi listrik. Termasuk juga Alex De Vries, lulusan Universitas Vrije Amsterdam sekaligus analis senior di PWC.
Lebih jauh, hasil analisis dari Alex De Vries inilah yang kemudian banyak dipergunakan sebagai referensi berbagai jurnal, artikel, berita, di berbagai media manapun. Alex De Vries, banyak membuat publikasi tentang daya konsumsi energi Bitcoin dengan membandingkan kebutuhan daya energi listrik di Visa maupun Mastercard.
Dalam hal ini, yang cukup menarik sebenarnya adalah bahwa Bitcoin memang serba terukur, dan bisa terkalkulasi jauh lebih valid ketimbang instrumen mata uang lainnya. Justru sebaliknya, tidak ada instrumen atau kalkulasi valid terhadap instrumen mata uang lain selain Bitcoin.
Kritik Atas Segala Hasil Riset Konservatif Tentang Daya Konsumsi Listrik Bitcoin
Sebagai sebuah entitas, Bitcoin bersifat tunggal, homogen, bisa berdiri sendiri. Hal ini tentu berbeda dengan entitas mata uang lain seperti mata uang kertas (Fiat). Terkait dengan hal itu, besaran daya konsumsi energi listrik, adalah berlaku untuk satu entitas saja, dan berlaku kepada seluruh dunia.
Fakta itu tentu saja berbeda seperti di ekologi pembentuk mata uang kertas (Fiat), ataupun pada entitas seperti Visa dan Mastercard. Baik keduanya, Visa dan Mastercard, bukanlah merupakan entitas yang tunggal, tidak bisa berdiri sendiri.
Visa dan Mastercard bergantung hidupnya dari jaringan perbankan di seluruh dunia. Belum lagi semua potensi kerusakan alam yang telah ditimbulkan untuk penciptaan uang-uang kertas, melalui penebangan pohon, dan lain sebagainya.
Menghitung besaran listrik Visa dan Mastercard bukanlah pembanding yang aple to apple untuk disandingkan dengan Bitcoin. Jika dipaksakan menggunakan pembanding itu, maka sepatutnya dalam risetnya melakukan kalkulasi seluruh konsumsi listrik jaringan perbankan di seluruh dunia.
Kalkulasi itu jelas harus dilakukan, karena Visa dan Mastercard yang digunakan sebagai pembanding di sebagian besar hasil analisis Alex De Vries bukanlah “Standalone”. Jawabannya sudah jelas dan bisa dipastikan adalah “mustahil” untuk bisa menghitung seluruh kebutuhan energi listrik jaringan perbankan di dunia.
Berbeda justru dengan Bitcoin, karena semuanya serba terukur, untuk mengkalkulasi dari berbagai macam sisi memungkinkan dilakukan. Alasannya tidak lain karena semua instrumennya terbuka, bisa dikalkulasi, bisa diamati oleh publik. Kritikan pedas atas seluruh hasil analisis Alex De Vries tersebut disuarakan dengan lantang oleh Robert Sharrat, CEO dari Reassure Financial Limited Swiss. Robert Sharrat sendiri menyebut bahwa semua dasar riset oleh Alex De Vries yang banyak menyebar itu mentah belaka.