BitcoinMedia – Bias Klinis. Catatan medis atau rekam medis, dapat memberikan dampak khusus. Terutama bagaimana dokter akan menentukan sikap dan tidakan untuk penangangan medis serta memperlakukan pasien.
Di tahun 2018, ada sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Anna P. Goddu, Katie J. O’Conor, Sophie Lanzkron, Mustapha O. Saheed, Somnath Saha, Monica E. Peek, Carlton Haywood Jr, bersama dengan Mary Catherine Beach. Penelitian itu dilakukan pertama kali pada bulan Januari 2018, dan kemudian dipublikasikan di Journal of General Internal Medicine.
Tim peneliti yang berasal dari John Hopkins University School of Medicine itu berupaya mempelajari pengaruh deskripsi bahasa yang dipergunakan dalam pencatatan rekam medis. Singkat kata, dalam hasil penelitian yang telah dilakukan, pendeskripsian rekam medis yang menggunakan bahasa “lebih netral” lebih memberikan dampak yang lebih baik terhadap pasien.
Penggunaan pendeskripsian bahasa yang netral ini adalah menggunakan bahasa yang lebih murni mengandung informasi medis sesuai dengan kondisi penyakit pasien. Sementara jika bahasa yang digunakan dengan membubuhkan kata-kata tidak penting lain, akan membuat penilaian berbeda pada dokter yang menangani saat itu.
Resiko penanganan yang mungkin berbeda inilah yang disebut dengan “bias klinis”. Resiko pada potensi terjadinya bias klinis ini ternyata berkontribusi terhadap kesenjangan di dunia kesehatan. Karena ujung-ujungnya bisa mempengaruhi proses perawatan dan penyembuhannya. Belum lagi, jika potensi yang ada bisa juga terjadi ketika ada transfer data rekam medis antar dokter berbeda.
Rekam medis, dalam dunia pelayanan kesehatan diharapkan untuk tetap mewakili ruang obyektif. Lingkungan di sebuah institusi dan lembaga pelayanan medis, termasuk dengan tenaga dokter di dalamnya, juga memiliki pengaruh yang signifikan.
Lingkungan klinis, dan beserta segala kondisi yang ada, memungkinkan dokter dan tim pelayanan lain berada dalam situasi yang kelehanan, kejenuhan. Hal itu bisa pula memberikan dampak yang relatif sinis terhadap pasien. Pencatatan medis itupun disebut bisa menimbulkan penafsiran yang sini dari pihak dokter.
Terkait dengan hasil penelitian yang telah dilakukan, solusi yang paling tepat untuk meminimalisir potensi-potensi bias klinis adalah dengan menggunakan pola rekam medis yang lebih transparan dan terbuka.
Di dalam jurnal WebMD yang pernah diterbitkan tahun 2017, disebutkan bahwa pola infrastruktur rekam medis yang lebih terbuka memberikan banyak manfaat untuk pasien.
Pada hal lain, ada sebuah makalah yang pernah disusun oleh Yayan Ahlaludin dari STIKes Bina Permata Medika Prodi Rekam Medis dan Informasi Kesehatan tahun 2014. Dalam makalah tersebut menyoroti tentang permasalahan sulitnya menemukan berkas rekam medis hingga dua jam di sebuah rumah sakit.
Rekam medis menjadi sarana penting. Tidak hanya sebagai peningkatan mutu pelayanan kesehatan saja, namun juga penting sebagai pandangan untuk menentukan tindakan medisnya.
Dalam merumuskan sistematika ruang penyimpanan rekam medis, pola yang terdistribusi cukup memberikan banyak kelebihan jika dibandingkan dengan pola yang terpusat. Dalam hal ini, ranah teknologilah yang akan bisa menjembatani proses itu dapat dilakukan.
Penanganan rekam medis yang disuguhkan melalui Private Healtcare Blockchain (PHB) dClinic banyak memberikansolusi yang cukup rasional dan logis. Pola penyimpanan yang terdesentralisasi maupun yang tersentralisasi, masing-masingnya memiliki kelebihan dan kekurangan.
Sementara jika menggunakan opsi gabungan antara keduanya, mungkin akan memberikan opsi yang dirasa lebih pas untuk institusi penyedia layanan kesehatan. Penangangan rekam medis di dalam PHB dClinic bersifat private, namun teknologi yang diusung adalah terdistribusi memanfaatkan peran Distrubuted Ledger Technology. Sementara opsi penanganan penyimpanan data yang dilakukan memanfaatkan teknologi blockchain untuk menambah sisi manfaat transparansi dalam proses pelayanan kesehatan lebih baik.
Penanganan rekam medis yang baik, output yang diharapkan adalah mampu meminimalisir adanya potensi bias klinis. Termasuk pula bagaimana memutuskan rantai permasalahan tentang penanganan akses akan rekam medis tersebut.
Pada tahun 2018 lalu, tentu masih ingat dengan berita hoax Ratna Sarumpaet. Apa yang terjadi dalam kasus tersebut, melabar juga hingga menilik dari sisi akses rekam medisnya. Di Indonesia sendiri, aturan tentang rekam medis sudah tertuang dalam Permenkes No. 269 Tahun 2008.
Di dalam peraturan tersebut dirinci juga soal siapa saja yang berhak mendapatkan akses rekam medis tersebut. Dalam hal ini, akses rekam medis yang tidak tertangani dengan baik, mungkin bisa menjadi permasalahan tersendiri, dan terutama jika terkait dengan ranah hukum. Misalnya dalam rangka penyelidikan hukum.
Atas kondisi ini, hak akses mutlak di PHB dClinic sudah menanganinya dengan baik. Bias-bias perdebatan yang mungkin bisa terjadi akan bisa diminimalisir. Selain itu, data medis di PHB dClinic juga bisa menjadi solusi silos data yang terfragmentasi.
Silos data adalah kumpulan informasi dalam sebuah organisasi, lembaga, atau instansi yang terisolasi, tidak dapat diakses oleh bagian lain di organisasi tersebut. Silos data ini bisa terjadi karena ada data yang sama di organisasi pada departemen berbeda. Sementara masing-masing departemen tersebut tidak dapat melihat data yang sama di departemen lainnya.
Menilik model penyimpanan rekam medis di Indonesia, selama ini belum ada rekam medis yang bersifat tunggal dan berlaku secara menyeluruh di tiap-tiap instansi pelayanan kesehatan berbeda. Artinya, di setiap penyedia layanan kesehatan, akan memiliki data rekam medis yang berbeda-beda pula.Padahal jika melihat kondisi yang ideal adalah, jika seseorang hanya memiliki “Satu saja” catatan medis yang berisikan seluruh riwayat kesehatannya. Hal penting selanjutnya, dengan cara apa akses itu diberikan, kepada siapa saja yang dapat mengakses informasi tersebut.