Di dalam dunia Bitcoin, kita kerap mendengar istilah desentralisasi atau terdistribusi. Dua istilah tersebut cukup akrab di para pengguna. Namun apakah ada perbedaan signifikan antara keduanya? Lantas apakah Bitcoin desentralisasi atau terdistribusi?
Bitcoin, bersifat terdesentralisasi dan juga sekaligus terdistribusi. Jadi pada dasarnya bitcoin bersifat kedua-duanya. Di dalam bitcoin, karena karakteristiknya memang bersifat terdesentralisasi, maka jelas haruslah bisa menggunakan pola yang terdistribusi.
Singkat kata, jika tidak bisa mencapai konsensus yang terdistribusi, maka hal itu bukanlah terdesentralisasi. Dalam hal ini, istilah desentralisasi dan terdistribusi memang berbeda.
Terdesentralisasi Atau Terdistribusi? Ini Bedanya
Di dalam protokol Bitcoin, yang dipergunakan adalah pola sistem yang terdesentralisasi. Dengan pola yang terdesentralisasi, maka Bitcoin bisa digunakan untuk saling mempertukarkan bitcoin secara langsung. Meski tanpa menggunakan perantara apapun.
Semua transaksi Bitcoin, disimpan ke dalam rantai block jaringan Bitcoin. Rantai block ini di simpan di seluruh full node, tersebar di seluruh dunia. Dalam hal ini, full node bertugas untuk menjaga integeritas seluruh rantai block yang memuat data transaksi dari sejak bitcoin dijalankan, hingga masa depan nantinya.
Karena kesejarahan transaksi yang bisa didistribusikan dari titik lokasi manapun di dunia secara berbeda, maka Bitcoin pun sudah bisa mencapai konsensus yang terdistribusi.
Dalam hal apakah Bitcoin bisa disebut terdesentralisasi? Semua konsensu di dalam jaringan bitcoin bersifat terdesentralisasi. Di dalam jaringan, semua simpul klien (Baca: perangkat) yang terhubung di dalam jaringan sama-sama bersifat mandiri. Artinya, antara satu full node dengan yang lain, tidak akan bisa berperan sebagai pengatur atau pemberi perintah apapun.
Oleh sebab itulah sifat terdesentralisasi di dalam Bitcoin murni memang bersifat terdesentralisasi. Di dalam jaringan pun, bersifat hal yang sama. Tidak ada pihak apapun yang berperan sebagai titik pusat penentu. Karena semuanya bisa saling terkoneksi secara langsung.
Untuk memberi gambaran yang lebih jelas, cara yang paling mudah adalah dengan melihat perbedaan karakter antara pola yang terdesentralisasi, dengan yang terpusat, sekaligus bagaimana pola terdistribusi berikut:
Pola Sistem Terpusat
Di dalam pola sistem yang terpusat, semua kontrol bisa dilakukan hanya oleh satu entitas saja. Entitas ini bisa orang tertentu, perusahaan, pemangku kebijakan, ataupun instansi tertentu.
Pola Sistem Terdesentralisasi
Sistem yang terdesentralisasi ini kebalikan dari yang terpusat. Tidak ada entitas tunggal sebagai kontrol atas keseluruhannya. Seluruh kontrol di dalam bitcoin, dipegang secara independen dari seluruh full node sebagai penjaga jaringan di dalam sistemnya.
Pola Sistem Terdistribusi
Pola sistem yang terdistribusi ini, sekilas akan nampak berdasarkan definisi jarak dan lokasi saja. Seperti yang disinggung diatas, bahwa di dalam Bitcoin, seluruh data yang tersimpan di dalam rantai block, didistribusikan kepada seluruh full node di dalam jaringan.
Sedangkan, letak klien atau perangkat yang terkoneksi di jaringan bitcoin itu tersebar di seluruh dunia. Jika pola sistem yang terdistribusi hanyalah bersifat hanya bisa dari berbeda lokasi dan jarak saja, maka untuk tipikal server yang terpusat pun bisa juga disebut pola terdistribusi.
Dalam hal ini, pola sistem terdistribusi memang sedikit lebih ambigu dalam kaitannya dengan dunia kripto secara umum. Kenyataannya, ada banyak pula varian-varian kripto yang tidak sepenuhnya terdesentralisasi, hanya bersifat terdistribusi saja.
Oleh sebab itu, pola terdistribusi saja belum tentu bisa mencapai entitas yang terdesentralisasi. Sebuah contoh, varian Kripto A, dijalankan dengan menggunakan cloud host di layanan tertentu. Dalam hal ini, pola yang digunakan bisa disebut terdistribusi, namun tidak terdesentralisasi.
Alasannya jelas, karena cloud hosting yang digunakan untuk menjalankan full node / perangkat yang bisa terhubung di jaringan berbentuk terpusat. Maka Kripto A bukanlah bisa disebut terdesentralisasi sepenuhnya.
Dalam perkembangan dunia kripto, varian kripto dengan kata keren “Blockchain”, itu jadi kian bias lantaran begitu banyak yang masih menggunakan pola terpusat. Alasan mendasarnya, karena varian blockchain itu dikuasai oleh perusahaan atau pemodal tertentu sebagai pembangun proyek kriptonya.
Pola-pola varian kripto yang tidak terdesentralisasi ini jelas memberikan kelemahan dalam sisi keamanan. Karena varian itu hanya dikelola oleh perusahaan pengembang itu saja, maka resiko terjadi 51% attack semakin besar.
Penambang di dalam ekosistem pertambangan, jelas menjadi faktor penting dalam menjaga integeritas data transaksi secara keseluruhan. Semakin banyak penambang, maka ekosistem di jaringan akan semakin kebal untuk diserang. Begitupun sebaliknya.
Distributed Ledger Technologi (DLT)
Konsep istilah “chain of block” yang diusung oleh Satoshi Nakamoto di dalam catatan diskusi mailinglist sebelum Bitcoin diluncurkan memang masih belum ada istilah populer Blockchain. Namun saat itu sudah jelas, bahwa Blockchain yang populer saat ini, adalah sebutan dari asal frase “chain of block” Satoshi Nakamoto tersebut. Artinya, Blockchain tersebut yang membicarakan entitas Bitcoin, tidak yang lain.
Sebelum makalah Bitcoin muncul pertama kali di tahun 2008, Satoshi Namakomoto pun banyak berangkat dari beberapa proyek lain yang sudah muncul sebelum-sebelumnya. Dalam hal ini bisa dikatakan, bahwa memang sebelum Blockchain Bitcoin muncul, sudah ada yang disebut dengan Distributed Ledger Technologi, atau yang kerap disingkat DLT.
Mari kita lihat runtutan sejarahnya. Konsep chain of block (kemudian disebut Blockchain) yang diperkenalkan oleh Satoshi Nakamoto tidak akan lepas dari perkembangan dari beberapa ide yang telah muncul sebelumnya.
Salah satu instrumen yang dibutuhkan di dalam konsep chain of block di dalam Bitcoin sehingga bisa digunakan sebagai teknik untuk merekam semua transaksi ke dalam ledger adalah Timestamping.
Teknik pemberian timestamping atau stempel penunjuk waktu ke dalam dokumen digital ini muncul dari ide Haber dan Stornetta di tahun 1991. Di tahun tersebut Stuart Haber dan juga W. Scott Stornetta mempublikasikan makalahnya di The Journal of Cryptologi dengan judul “How to Time-stamp a Digital Document”.
Teknik timestamping yang diawali Haber dan Stornetta inilah yang menjadi dasar pijakan penting sebagai instrumen dasar bagaimana membangun konsep “chain of block”. Singkat kata, ide pemberian time stamping di tahun 1991 itu memang masih belum berbicara utilitasnya untuk diterapkan dalam mata uang kripto.
Meski demikian, stempel waktu itulah yang akan memberikan bukti bagaimana pengamanan dokumen digital itu bisa dilakukan. Ya, pada akhirnya Satoshi nakamoto juga menggunakan timestamping ini di dalam konsep Bitcoin. Namun properti ini tidak sebegitu penting, karena tujuan lebih utama adalah bagaimana membuat urutan relatif block menjadi lebih kuat dan temper-proof.
Sehingga, kesejarahan transaksi yang sudah tersimpan di dalam setiap block dalam rata-rata waktu 10 menit, juga lengkap dengan bukti penunjuk waktu kapan block itu diciptakan.
Di dalam konsep timestamping Haber dan Stornetta, dijalankan melalui perusahaan yang disebut dengan Surety. Artinya, pengamanan dokumen dengan fitur stampel waktu milik Haber dan Stornetta memang masih belum bersifat terdesentralisasi. Perusahaan Surety itulah yang berlaku sebagai kontrol terpusatnya.
Di sisi lain, integritas dan validitas data setelah sebuah dokumen diberikan penanda waktu, haruslah bisa benar-benar otentik. Disinilah ruang pembeda besarnya. Terkait dengan hal ini, Bitcoin memberikan pengembangan luar biasa dengan protokol HashCash.
Latar belakangnya tidak lain agar efisiensi pemberian penanda waktu bisa lebih efisien, namun bisa memberikan otentikasi dan validitas yang tidak terbantahkan. Kebutuhan terakhir, adalah bagaimana semua hal itu bisa dilakukan secara terdesentralisasi, tanpa harus melalui server terpusat.
Beberapa waktu berselang, gagasan Wei Dai di tahun 1998 juga memberikan garis terang benderang untuk lanjutan konsep Bitcoin. Wei Dai di tahun tersebut memberikan gagasan proyek yang disebut dengan b-money.
B-money besutan Wei Dai, menggunakan pola jaringan peer-to-peer seperti halnya Bitcoin. Perbedaannya, b-money itu menggunakan ledger yang digunakan didalamnya tidaklah bersifat global dan publik seperti di dalam Bitcoin. Namun meski demikian, Wei Dai juga menggunakan node dalam pemeliharaan ledger tersebut.
Masih di tahun 1998, Nick Szabo memperkenalkan BitGold. Konsep yang diperkenalkan Szabo dalam BitGold ini serupa dengan b-money. Namun gagasan BitGold itu sendiri baru ditemukan di internet di tahun 2005. Seakan Szabo berupaya untuk mengubur hal itu, seperti yang dianggap oleh Nathaniel Popper di New York Times.
Bagi kedua ide antara b-money dan BitGold, memang sama-sama menggunakan node untuk menjaga otentikasi ledger yang digunakan. Sama-sama mengandalkan timestamping dalam proses transaksinya. Selain itu, baik b-money dan BitGold juga masih belum belumlah bisa mengatasi masalah double-spending.
Perbedaan mendasarnya, bahwa Bitcoin sudah berupaya untuk bisa melestarikan urutan relatif block, sekaligus membuat rekam transaksi itu menjadi tidak mungkin untuk bisa dirubah ataupun dimanipulasi. Terkait dengan potensi double spending, hal itu sudah diatasi di dalam Bitcoin.
Bahkan capaian konsep Bitcoin mampu membawa lompatan pengembangan yang lebih jauh. Bitcoin mampu mengatasi persoalan mendasar dalam tipikal jaringan terdistribusi, yakni Bizantyne General Problem.
Terkait kembali tentang DLT, seperti yang telah kita ketahui bersama, pada proyek-proyek sebelumnya masihlah belum bisa menjadi solusi-solusi taktis dalam kaitannya sebagai sistem pembayaran tunai elektronik.
Kenyataan seperti konsep Haber dan Stornetta diatas, konsep timestamping yang dianggap instrumen penting dalam membangun konsep Blockchain Bitcoin pun masih harus bergantung pada server terpusat.
Pembeda jelasnya disini, bahwa DLT mungkin bisa diimplementasikan dengan pola terdistribusi. Namun DLT tersebut belum tentu bisa dikatakan terdesentralisasi.
DLT Dengan Blockchain Bitcoin Tidak Sama
Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa konsep awal DLT sebelum Bitcoin, memberikan kenyataan bahwa saat itu, ledger terdistribusi masihlah belum mampu menjawab tantangan yang ada. Dalam soal desentralisasi juga tidak. DLT masih menggunakan pola sentralitas, atau terpusat.
Oleh sebab itu, DLT dengan Blockchain Bitcoin tidaklah sama. Faktu penentu dan pembeda utamanya tidak lain adalah karene Blockchain Bitcoin sudah bisa mencapai desentralisasi dengan pendistribusian konsensus.
Belakangan, ketika kata “Blockchain menjadi Hype”, esensi sifat dan karakter blockchain Bitcoin itu menjadi tidak bermakna. Pasalnya ada sekian banyak konsep DLT membawa nama populer “Blockchain”, namun masih menggunakan pola yang terpusat.Pola di sekian banyak varian yang bermunculan tersebut jauh lebih banyak digawangi oleh perusahaan-perusahaan tertentu sebagai penjaga dan kontrol terpusatnya.