Bank Indonesia melalui Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Juda Agung sempat memberikan komentar tentang Libra. Menurutnya, Libra cukup berbeda dengan mata uang virtual lain seperti Bitcoin.
Juda Agung sempat dimintai keterangan, dikutip dari CNN Indonesia Senin lalu (22/7/19). “Kami tidak mengawasi mata uangnya, tetapi mengawasi lembaga keuangan yang menggunakan mata uang tersebut,” terangnya.
Libra Facebook yang rencananya baru akan dirilis tahun depan ini dipandang berbeda dengan Bitcoin karena punya penjamin aset bernilai tinggi. Beberapa aset penjamin itu seperti emas maupun surat utang AS.
Jika dibandingkan dengan Bitcoin, mata uang digital pengawal era kripto ini dianggap cukup beresiko hanya karena tidak ada penjamin atau underlyingnya. Hal itu membuat Bitcoin cuman digunakan untuk spekulasi saja. Harga Bitcoin juga mudah berfluktuasi.
Meski demikian Juda Agung juga menegaskan bahwa bukan berarti Libra dianggap lebih aman ketimbang Bitcoin maupun yang lain. Terkait hal ini, pihak BI disebut masih akan mempelajari secara mendalam tentang Libra.
Juda Agung juga menekankan agar masyarakat tidak tergoda menggunakan Libra sebelum ada sikap dan kepastian dari BI. Menurutnya, Undang-Undang No 7 2011 tentang mata uang, menyebutkan bahwa Rupiah adalah satu-satunya mata uang yang sah di Indonesia.
Sementara itu Josua Pardede, ekonom dari Bank Permata meminta agar regulator di Indonesia cepat memberikan respon atas fenomena yang terjadi di industri keuangan. Mata uang digital adalah satu hal yang semestinya mendapat respon cepat itu.
Saat memberikan komentar di CNN Indonesia, Josua Pardede mengatakan bahwa BI perlu menerbitkan aturan khusus, kasus per kasus. Pemangku kebijakan di Indonesia juga perlu mengkaji secara dalam poin-poin penting dalam mata uang digital.
Anggapannya, jika aturan itu dibuat secara terburu-buru, kekhawatiran atas potensi fraud bisa mengakibatkan tidak stabilnya sistem keuangan. Potensi-potensi negatif ini yang perlu diantisipasi oleh BI.
Pardede juga menyebut bahwa alat pembayaran digital memiliki resiko besar. Karena tidak memiliki aset jaminan. Mata uangnya disebut hanya ditentukan saja dari mekanisme pasar yang fluktuatif. Pardede mengatakan, “Resiko mata uang digital itu berkelanjutan. Banyak resiko yang harus dimigitasi sejak awal, seperti sistem, fraud, IT Security,” paparnya.
Atas dasar itu, secara pribadi Pardede juga masih yakin bahwa BI tidak akan mengijinkan alat pembayaran selain Rupiah di Indonesia. Sementara di negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, dan Korea, tetap berpotensi besar untuk melarang libra.