Di dalam siaran pers tersebut, BI sekali lagi menegaskan bahwa mata uang virtual termasuk bitcoin tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Dasar hukum yang berkaitan dengan hal itu adalah sesuai dengan yang telah tercantum dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2011 tentang mata uang yang sah dan dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Rupiah.
BI memandang bahwa pemilikan virtual currency cukup beresiko dan sarat spekulasi terkait tidak ada otoritas yang bertanggung jawab, tidak terdapat administrator resmi, serta tidak ada underlying asset yang mendasari harga virtual currency. Hal-hal tersebut yang menyebabkan perdagangan virtual currency menjadi cukup fluktuatif dan rentan terhadap resiko bubble. Tidak pernah lupa, BI juga kembali menyatakan kembali, bahwa virtual currency kerap digunakan sebaggai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme, yang berujung dapat mempengaruhi kestabilan system keuangan dan merugikan masyarakat.
Jika pada pernyataan resminya di tahun 2014, BI terkesan masih hanya memberikan himbauan normatif, namun pada siaran pers nya kali ini, BI lebih detail dengan memberikan penekanan terutama untuk “melarang menjual, membeli, atau memperdagangkan virtual currency”.
Selain itu, BI juga melarang pihak-pihak penyelenggara jasa sistem pembayaran dan penyelenggara teknologi finansial di Indonesia baik Bank dan Lembaga Selain Bank untuk tidak memproses pembayaran dengan virtual currency. Meski demikain, pernyataan BI kali ini juga kembali menyisakan makna yang ambigu.
Pernyataan Resmi BI masih ambigu dan inkonsisten
Judul pada siaran pers BI kali ini adalah “Bank Indonesia Memperingatkan Kepada Seluruh Pihak Agar Tidak Menjual, Membeli atau Memperdagangkan Virtual Currency”, tentu saja kata “memperingatkan” di kalimat tersebut masih bernada normatif saja, atau sebatas himbauan kepada masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Secara khusus tentang Bitcoin, BI kembali hanya menggunakan kata “memperingatkan” seperti yang tertulis di paragraf kedua dalam pernyataan resminya.
Namun di paragraf ketiga, BI menggunakan kata “melarang” kepada seluruh penyelenggara jasa system pembayaran, atau saja lain baik oleh Bank dan Lembaga non-Bank.
Dalam pernyataan ini, tentu saja dapat dinilai sebagai tidak konsistennya pernyataan BI, secara khusus untuk yang terkait dengan mata uang virtual. Karena seperti yang dapat dibaca di paragraf ketiga, BI hanya “melarang” penggunaan virtual currency sebagai alat pembayaran saja, karena alat pembayaran yang sah di Indonesia hanyalah Rupiah. Sedangkan untuk mata uang virtual hanya berupa himbauan normatif saja, dengan pilihan kata “memperingatkan” itu.
Kedua, berkaitan dengan mata uang berbasis kriptografi atau yang disebut dengan cryptocurrency seperti bitcoin dan yang lainnya diwakili dengan kata virtual currency secara umum.
Di sini, nampak bahwa BI sendiri juga tidak mengetahui konteks mata uang berbasis kripto pada umumnya, karena menyamakan kripto seperti sebuah virtual currency secara umum. Mata uang kripto memang dapat disebut sebagai mata uang virtual karena wujudnya memang virtual / digital, tapi tentu saja tidak semua mata uang virtual adalah cryptocurrency.
Sejauh ini, masih belum diketahui pasti rentetan regulasi selanjutnya yang bakal terjadi, terutama sebagai implikasi dari pernyataan resmi BI itu terhadap bursa kripto di Indonesia. Bagaimanapun bursa-bursa bitcoin dan kripto konvensional di Indonesia tersebutlah yang paling banyak berdampak terhadap regulasi.
5 Comments
bank apa yang aman untuk menukar bitcoin ke rupiah? apabila benar2 di larang
membaca statemennya sj bikin orang bingung pak, pake apa aja bisa.