Diterbitkan sehari kemarin, FinCen (Financial Crimes Enforcement Network) membuat pedoman model bisnis cryptocurrency. Tidak hanya untuk model bisnis yang umum saja, namun dalam rilis itu menyasar juga model bisnis yang bergerak di dunia mata uang digital, termasuk juga cryptocurrency.
FinCen secara implisit menyebut berbagai penyedia layanan wallet kripto, dianggap sama halnya dengan money transmitter, atau penyedia layanan transfer mata uang. Bersifat sebagai pedoman interpretatif, FinCen juga mengingatkan pihak-pihak perbankan tentang peraturan yang berlaku terhadap bisnis jasa mata uang (Money Services Businesses – MSB).
Cryptocurrency, di dalam ekosistemnya memang terdapat begitu banyak penyedia layanan wallet. Mulai dari yang berbentuk hardware wallet, di platform mobile, dan juga web based wallet. Tidak sedikit pula dari sekian banyak penyedia jasa tersebut dibuat oleh perusahaan.
Dari panduan yang diterbitkan kemarin (9/5/19), FinCen lebih mencermati pola bisnis yang mengakomodir sebagai penyedia jasa terkait. Meski model bisnis itu bergerak di cryptocurrency, namun FinCen akan menganggap perusahaan penyedia jasa itu perlu mendapatkan ijin yang sama seperti money transmitter lain. Terutama jika berkenaan untuk pencegahan tindak pencucian uang.
Jika di Amerika, pemangku kebijakan untuk menerbitkan perijinan tersebut berada di bawah naungan Bank Secrecy ACT (BSA). Sehingga, FinCen pun menganggap perusahaan kripto yang menyediakan jasa transfer mata uang haruslah juga terdaftar di BSA.
Salah satu sektor kripto yang dirasa paling berpengaruh terkena dampaknya adalah Dapps (Decentralized applications). Bahkan, dalam panduannya FinCen juga menyebut secara gamblang bahwa Dapps sudah dirancang sedemikian rupa. Meski tidak dikontrol oleh perorangan tunggal atau sekelompok orang, namun bukan berarti tidak ada entitas tunggal yang berlaku sebagai administrator platformnya.
“Berdasarkan hal itu, kalau dapps menyelenggarakan transfer uang, definisi transmisi uang itu akan berlaku untuk dapp, pemilik atau operator, dan bisa berlaku untuk keduanya”, seperti yang tertulis di pedoman FinCen.
Di dunia cryptocurrency dan token, memang sudah berkembang menjadi begitu kompleks. Sampai sejauh ini, memang tetap ada sebagian besar lagi penyedia jasa yang masih menjalankan platformnya secara lebih terdesentralisasi.
Dalam penyedia wallet misalnya, ada sebagian besar yang menekankan akses mutlaknya berada di penggunanya sendiri. Khusus dalam hal yang lebih spesifik seperti ini, FinCen nampak memungkinkan adanya pengecualian.
Alasannya jelas, karena yang memberikan akses mutlak pada penggunanya, tidak memenuhi syarat harus diatur di bawah BSA sebagai penyedia layanan transfer uang. Beberapa penyedia wallet yang seperti ini seperti halnya Blockchain.com, seperti yang tertulis di Coindesk hari ini.
Sementara di sektor lain, untuk penyedia layanan jual beli kripto, juga akan ada pengecualian. Pengecualian tersebut baru berlaku jika penyedia bursa itu dalam operasinya tidak mengakomodir sebagai penyedia jasa penukaran uang dengan mata uang fiat.
Jika melihat detail dalam petunjuknya, FinCen lebih condong melihat beberapa bursa yang bersifat terdesentralisasi (DEX). Karakter bursa p2p seperti ini, dianggap tidak terkait dengan model bisnis money transmitter.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Di tahun 2012, Gubernuur BI sudah mengesahkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 14/23/PBI/2012 tentang Transfer Dana. Pengesahaan peraturan tersebut dilakukan pada tanggal 26 Desember di tahun 2012.
Pada aturan itu, BI mewajibkan semua badan usaha bukan bank yang bertindak sebagai penyelenggara transfer dana wajib berbadan hukum resmi. Memperoleh ijin resmi dari pihak Bank Indonesia (BI). Peraturan BI tahun 2012 itu adalah pengganti peraturan sebelumnya nomor 8/28/2006 tentang Kegiatan Usaha Pengiriman Uang.
Kurang lebihnya, aturan dasar tentang penyedia jasa transfer uang di Indonesia juga sama seperti halnya yang disebutkan oleh pihak FinCen. Hanya saja, peraturan di Indonesia akan masih melalui proses yang cukup panjang. Hal tersebut terutama karena di Indonesia belum ada regulasi yang lebih spesifik.