Pemanfaatan teknologi blockchain di semua sektor saat ini lebih menjadi sebuah delusi dibandingkan dengan kenyataan yang ada. Proyek tokenisasi blockchain ini menggila ketika di era ICO, STO dan IEO.
Alih-alih memberikan manfaat dalam menyajikan transparansi hingga sisi keamanan, yang ada justru menyisakan sekian banyak celah keamanan sendiri. Belum lagi potensi fraud yang begitu besar dan sudah memakan begitu banyak korban.
Sudah cukup banyak kritik yang bermunculan terkait dengan proyek tokenisasi blockchain. Yang menjadi perhatian paling krusial adalah bagaimana sebagian besar proyek yang ada cenderung untuk memanipulasi sisi desentralisasi dunia kripto dengan bentuk tokenisasi itu.
Sebut saja seperti Bruce Schneier yang menyebut Blockchain tidak berguna. Pernyataan itu sempat dikemukakan Schaider di event Blockchain Workshop tahun 2016 di Kenya. Schneier yang juga salah satu aktivis di era Cypherpunk ini menyorot pembiasan blockchain yang lebih banyak sensasi ketimbang nilai dan potensinya itu sendiri.
Beberapa waktu yang lalu, Frances Coppola juga menuliskan hal yang sama. Tulisan salah satu kolomnis di Coindesk ini menyebut delusi tokenisasi blockchain. Landasan Frances Coppola tentu bukan tanpa alasan.
Gegap gempita tekait dengan delusi tokenisasi blockchain ini seperti sebuah hembusan mimpi indah di siang bolong. Gembar-gembor yang sudah cukup tersebar luas seakan menjadi obat mujarab berbagai masalah.
Proyek tokenisasi blockchain direpresentasikan sebagai token berbasis blockchain, diterbitkan sendiri, didukung oleh asetnya sendiri, dan dijual untuk umum. Secara ajaib token tersebut menjadi obab mujarab dengan klaim desentralisasi dan kekekalan data yang tersimpan di dalam blockchain.
Produksi token yang banyak dibuat melalui pola smart contract dengan mendompleng varian kripto tertentu itu diperkenalkan menjadi sebuah aset digital yang cukup liquid, atau kurang lebih bisa difungsikan sebagai penyimpan nilai, dapat diperjual-belikan dan ditransaksikan dengan mudah.
Dibalik itu semua, yang paling mendasar adalah penguasaan lebih dari separuh total jumlah kepemilikan token oleh pemilik proyek. Korporasi-korporasi yang ada dibelakang proyek tersebut memegang kendali lebih besar ketimbang publik secara umum.
Ketika tokenisasi blockchain itu sudah dilepas dipasar, disinilah rasa getir dan pahit mulai terasa bagi publik. Hembusan angin surga mendadak berubah pahit secara perlahan, ada pula yang cukup ekstrim. Sementara proses masuk sebuah token di bursa kripto juga tidak lepas dari kepentingan, atau monkey business baru yang melibatkan antara kepentingan bursa dan pemilik proyeknya.
Hampir sebagian besar proyek-proyek tokenisasi blockchain memang diprakarsai oleh korporasi atau perusahaan tertentu. Jelas, motif mendulang keuntungan menjadi lebih kental dibandingkan aspek teknologi yang disajikan.
Faktanya lebih dari separuh dari proyek tokenisasi blockchain yang telah ada, mati di tengah jalan. Pengusung proyek biasanya punya cara tersendiri untuk mengurangi tensi aktifitas di sosial media ketika sudah tercium mulai stagnan.
Di tahun 2018, tercatat sekitar 593 proyek yang lebih banyak didominisi oleh tokenisasi blockchain. Proyek yang ada di tahun itu masih banyak dilakukan melalui ICO (Initial Coin Offerings). Total pendanaan yang sudah diraup secara keseluruhan mencapai USD 12,4 milyar.
Skema mendapat modal besar itu membuat sekian pasang mata mendadak hijau. Stigma proyek-proyek kripto tidak dapat mengelak dari stigma Monkey Business baru berbalut cryptocurrency, dan juga hype Blockchain.
Ketika ICO mulai surut, gelombang angin surga baru yang dihembuskan adalah menggunakan istlah baru. Istilah baru ini kemudian disebut dengan STO (Security Token Offerings). Paketan angin surga ini dilengkapi dengan mekanisme keruk untung ala bursa kripto melalui mekanisme IEO (Initial Exchanges Offering).
Yang ditawarkan sebenarnya tidak ada bedanya dengan ICO. Baik STO dan IEO hanya memberikan deskripsi dan klaim-klaim fana dan menyebut STO ataupun proses listing melalui IEO mampu memberikan perlindungan konsumen lebih baik.
Lagi-lagi fakta berbicara berbeda. Sejumlah proyek tokenisasi blockchain baik melalui STO pun, tidak luput dari fraud, scam, terhenti di tengah jalan, ataupun stagnan dan berujung mati. Ada cukup banyak pola dan bentuk tokenisasi blockchain tersebut. Baik yang berupa token Stablecoin, dan segala macamnya.
Pemilik bursa-bursa kripto juga makin keranjingan menemukan celah untuk mengeruk keuntungan baru dengan menerbitkan versi stablecoin sendiri. Gelombang hype tokenisasi blockchain menemui era baru lagi dengan munculnya istilah dewa baru bernama DeFi (Decentralized Financial).
Tidak banyak hal baru yang ditawarkan dari proyek-proyek DeFi, selain dengan hype bahwa blockchain mampu menjadi solusi untuk industri keuangan. Hasilnya, platform DeFi bZx di bulan Januari sudah dibobol penyerang hingga dua kali. Tak heran jika kemudian Charlie Lee menyebut DeFi hanya sebuah “Teater Desentralisasi”.
Blockchain secara cukup sempit dimaknai sebagai bentuk tokenisasi digital. Baris-baris kode smart contract yang dibangun mendompleng varian altcoin tertentu ini seakan sudah ditasbih mampu menjamin keamanan tingkat tinggi.Pilihan platform yang hendak digunakan inilah yang kemudian menjadi masalah terbesarnya. Bagaimana tidak, hampir sebagian besar platform DAPPs seperti Ethereum, EOS, TRON, dan yang lain bahkan tidak pernah bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri. Sementara hampir sebagian besar proyek tokenisasi itu bergantung penuh di platform itu.