Wakil Ketua DPR RI bidang Koordinator Politik dan Keamanan (Korpolkam) Aziz Syamsuddin mengusulkan penggunaan blockchain untuk sistem imigrasi di Indonesia. Usulan tersebut sehubungan dengan peristiwa simpang siur data imigrasi terkait Harun Masiku, termasuk juga agar lebih sigap dalam penanganan virus korona di Indonesia.
Dalam komentarnya di media, penggunaan teknologi blockchain untuk sistem keimigrasian juga telah digunakan oleh PBB. Terlebih dalam mengatasi masalah pengungsi. Menurut Aziz, pemanfaatan teknologi blockchain untuk imigrasi di Indonesia bisa menjadi lebih cepat, akurat dan akuntable.
Pada tahun 2018 silam, PBB memang telah bekerjasama dengan beberapa organisasi pemerintah untuk mengeksplorasi penggunaan teknologi, termasuk blockchain, dalam menangani masalah pengungsi. Uapaya tersebut terlebih ketika makin banyak pengungsi yang menyeberang ke Eropa melalui jalur Mediterania di sekitar bulan Januari sampai Juli 2018.
Dari setiap 18 belas orang yang menyeberang di jangka waktu tersebut, ada satu orang yang meninggal. Sementara jika dibandingkan dengan tahun 2017, ada satu orang yang meninggal dari 42 pengungsi.
Peristiwa itu lantas menjadi insiden panas terhadap keimigrasian AS (ICE), dan juga badan perlindungan kepabeanan perbatasan AS (CBP). Kedua lembaga itu lantas dituding telah teledor menjalankan fungsinya. Total imigrasi tahunan di AS melonjak sejak Januari 2017. Di tahun 2016 total pengungsinya 110.568, menjadi 143.470 di tahun 2017.
Satu infrastruktur yang paling dibutuhkan untuk implementasi tersebut adalah memberlakukan paspor global. Kebutuhan dokumen secara global ini dianggap sebagai satu dokumen paling penting adas identitas seseorang. Termasuk jika orang yang bersangkutan pergi ke negara lain.
UNHCR, pernah memfasilitasi identitas pengungsi itu dalam sistem biometrik. Pencatatan informasi data pribadi itu kemudian disimpan dalam penyimpanan data secara terpusat. Tentu saja, sistem ini memang berpotensi besar untuk disalah gunakan, ataupun diserang.
Kenyatannya, Aadhaar, basis data sistem biometrik untuk basis data nasional di India sudah berhasil dijebol tahunn 2017 silam. Kabar yang banyak beredar, database tersebut kemudian dijual di internet dengan harga hanya USD 8, atau sekitar Rp.109.000 di kurs rupiah saat tulisan ini dibuat.
Di Finlandia telah mulai menggagas hal serupa bekerjasama dengan startup MONI. Layanan keimigrasian di Finlandia memberikan satu kartu prabayar kepada pengungsi. Kartu tersebut ditautkan dengan identitas digital dan disimpan melalui distributed ledger technology (DLT). Sekaligus, kartu tersebut juga berfungsi penuh untuk akses rekening bank penggunanya.
Melalui kartu tersebut, dapat digunakan untuk membayar tagihan, menerima gaji, dengan database publik yang dikelola dengan dalam jaringan yang semi terdesentralisasi. Semi terdesentralisasi, karena pada faktanya, kebanyakan basis data itu banyak dihosting di penyedia jasa cloud besar. Sad, but its true, begitulah keadaannya.
Di Forum Ekonomi Dunia yang digelar di Davos pada bulan Januari 2018 lalu, George Soros mengklaim bahwa pihaknya sudah menggunakan blockchain untuk kebijakan imigrasi. Meski demikian, soros tidak pernah memberikan jawaban bagaimana implementasi itu bisa dilakukan. Selama sesi tanya jawab pada kesempatan itu, Soros tidak pernah mengungkapkannya.
Kembali sejenak di tahun 2017, Microsoft sudah bekerjasama dengan Accenture. Kerjasama itu untuk membangun jaringan ID (identitas digital) menggunakan teknologi blockchain. Sebagian dari proyek ini ternyata juga didukung oleh PBB. Tujuannya untuk memberikan identifikasi hukum pada 1,1 milyar orang di seluruh dunia, tanpa menggunakan dokumen resmi.
Kabarnya saat itu, prototype jaringan yang sedang dipersiapkan akan diluncurkan pada forum KTT ID2020. Secara khusus konsep yang digunakan juga sama dengan menyimpan data biometrik dengan sidik jari, maupun scan bola mata (iris).
Hasil pemindaian itu lantas disimpan dengan basis data per block seperti dalam teknologi blockchain yang kian hype di jaman kini. Proyek ini dipercaya dapat memudahkan pembuktian identitas. Terutama pada penanganan kasuistis dukumen yang hilang, atau yang lainnya.
Kondisi di AS memang sudah tidak asing lagi dengan gelombang besar pemanfaatan teknologi. Sementara di banyak hal, vendor atau korporasi di yang ada di belakang proyek-proyek berbasis blockchain sudah bergerilya untuk bisa masuk di sektor-sektor pemerintahan.
Misalnya saja seperti yang dilakukan oleh pihak IOTA pada tahun 2018 lalu. Pada saat itu, IOTA sudah menandatangani MOU dengan pihak pemerintah di AS untuk eksplorasi pemanfaatan teknologi blockchain.
Hal yang sama juga berlaku di Ethereum pada bulan Mei tahun 2017 dengan World Food Program (WFP) PBB. Proyek ini untuk memberikan semacam voucher kepada pengungsi di Syuriah agar bisa digunakan membeli kebutuhan di pasar.
Nampaknya lembaga lain PBB juga sudah membuat inisiatif serupa. Seperti UNOPS, UNDP, UNICEF, UNHCR, maupun UNDG. Seluruh lembaga-lembaga tersebut sejak 2018 silam sudah keranjingan untuk mengeksplorasi teknologi blockchain. Baik untuk kebutuhan supply chain, audit, identitas, maupun transparansi penyimpanan data.
Di satu sisi, seluruh gegap gembita akan potensi-potensi besar itu, tetaplah harus dipandang dengan kacamata yang cukup kritis. Terlebih, teknologi blockchain adalah teknologi yang terdesentralisasi. Karakter terdesentralisasi itu membuahkan output keamanan data yang cukup sahih.
Sayangnya, apa yang banyak diketahui dengan istilah Distributed ledger technology (DLT) banyak disebut dengan istilah “blockchain”. Tinjauan secara teknis jelas berbeda antara keduanya. Terutama dalam sifat desentralisasi tidaknya.
Pemanfaatan DLT, mungkin akan lebih krusial untuk yang bersifat internal kelembagaan, internal instansi, atau yang sejenis. Namun untuk sektor-sektor publik, sepatutnya perlu mengadakan penelitian mendalam terlebih dulu.
Hampir sebagian besarnya, DLT juga ditopang dengan jasa cloud computing besar di belakangnya. Artinya, ada entitas tunggal yang berperan di belakangnya. Dalam raksasa teknologi, tidak akan jauh-jauh dari peran IBM dan yang lainnya. Pilihan jaringan pun demikian. Dari sekian banyak proyek yang ada, pilihan-pilihan pemanfaatan jaringan itu tidak akan jauh dari Ethereum, EOS, atau yang lain.
Sementara jika diketahui tinjauan teknisnya, kompleksitas jaringan itupun tidak lepas dari celah-celah keamanan juga. Akarnya jelas, ada kepentingan besar di balik semua proyek tersebut. Teknologi blockchain memang berpotensi besar. Namun perlu dicermati mendalam, bahwa fakta kata hype “teknologi blockchain” tidak akan bisa lepas dari kepentingan besar.