Penyidik khusus Robert Mueller, Jumat lalu mengumumkan dakwaan pada 12 agen Rusia dengan tuduhan kriminal dalam pemilihan presiden AS tahun 2016. Dari berkas dakwaan yang dipublikasikan secara resmi tersebut, menyebut bahwa 12 agen Rusia itu telah menggunakan bitcoin saat membeli domain, hosting, dan juga VPN sebagai upayanya untuk mempengaruhi pemilihan presiden pada tahun 2016 lalu.
Seperti yang sudah banyak diketahui, pemilihan presiden tahun 2016 lalu telah memenangkan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat saat ini. Lambat laun, diketahui bahwa ada indikasi keterlibatan pihak Rusia dalam tim kampanye Donald Trump saat itu. Kian berbuntut panjang, Mantan Direktur FBI James Comey pun hingga dipecat oleh Donald Trump.
Saat dirinya dipecat, James Comey menilai bahwa pemecatannya itu tidak lain karena terkait dengan penyelidikan keterlibatan pihak Rusia dalam kasus itu. Sementara pada berkas dakwaan Robert Mueller, menandakan ada keterlibatan kuat dari 12 agen Rusia pada proses pemilihan presiden saat itu.
Disebutkan pada berkas itu, bahwa disekitar tahun 2016, Rusia menjalankan sebuah agensi intelijen militer yang disebut dengan Main Intelligence Directorate of General Staff (GRU). GRU kemudian terlibat dalam operasi cyber dengan melakukan beberapa peretasan untuk dapat mengambil dokumen-dokumen penting. Operasi cyber yang dilakukan ini adalah operasi cyber berskala besar, dengan peretasan komputer, dan mengganggu jalannya pemilihan presiden AS tahun 2016 itu.
Aksi cyber pun dilangsungkan sekitar bulan Maret 2016. 12 agen dari GRU tersebut lantas mulai meretas akun email dari pendukung maupun tim kampanye Hillary Clinton. Bahkan, kabarnya juga termasuk akun email ketua tim kampanye Clinton juga berhasil diretas. Dari dokumen-dokumen yang berhasil diretas tersebut, kemudian diunggah dalam sebuah situs, dan menyamar dengan nama Guccifer 2.0.
Pada 14 Maret dan 26 April 2016, menggunakan sejumlah dana dalam bentuk Bitcoin untuk membeli sebuah akun VPN, dan juga menyewa server di Malaysia. Berlanjut pada sekitar bulan Juni, server di Malaysia tersebut digunakan untuk menjalankan situs dcleaks.com.
Keterlibatan Bitcoin Dalam Tindak Kriminal
Selama ini bitcoin telah banyak diasosiasikan sebagai sebuah media untuk melakukan tindak kriminal. Termasuk juga pada kasus keterlibatan 12 agen Rusia dalam pemilihan presiden AS 2016 tersebut. Pada kasus tersebut, seperti dalam berkas dakwaan yang dirilis oleh penyidik khusus Robert Mueller, memang diketahui menggunakan bitcoin sebagai media untuk membeli domain, server, dan akun VPN.
Padahal, berbagai layanan tersebut juga dapat dibeli meskipun tidak menggunakan bitcoin. Sejumlah layanan-layanan seperti yang disebutkan dalam berkas itu, kenyatannya dapat dibeli dengan berbagai macam metode pembayaran secara online.
Adanya kekhawatiran berlebihan dengan stigma penyalahgunaan bitcoin untuk tindak kriminal, ibaratnya sama seperti kekhawatiran internet yang muncul di tahun 1990an. Di masa itu, internetpun dipandang cukup skeptis atas potensi-potensi penyalahgunaan. Namun pada akhirnya, orang pun banyak melihat sisi positif yang jauh lebih banyak ketimbang sisi negatifnya.
Lemahnya Sisi Keamanan Sebagai Penyebab Utama Cybercrime
Jika kita melihat pada kasus keterlibatan 12 agen Rusia dalam pemilihan presiden AS 2016 itu, kita dapat melihat bahwa inti permasalahan bukanlah pada adanya bitcoin ataupun cryptocurrency secara umum, maupun alat dan sarana teknologi.
Penyebab utama dalam kasus tersebut, sebetulnya ada pada buruknya sisi keamanan cyber. Hal ini disebutkan dalam rilis Coincenter yang diterbitkan hari Selasa (17/07/18). Coincenter justru memandang bahwa bitcoin maupun cryptocurrency secara umum justru akan menjadi jawaban permasalahan buruknya tingkat keamanan cyber selama ini.
Para pengguna kripto, sampai sejauh ini telah banyak belajar tentang sisi keamanan dalam bitcoin yang menggunakan cabang ilmu kriptografi di dalamnya. Seperti private key dan public key, pentingnya privasi tinggi untuk melindungi diri dan meningkatkan keamanan. Sebaliknya, pengguna bitcoin dan kripto, makin meningkat kesadarannya akan privasi.
Sebuah pertanyaan penting yang semestinya diajukan adalah, “Seandainya bitcoin tidak ada, apakah cybercrime tetap akan terjadi? Jawabnya tentu saja cybercrime tetap akan terjadi. Hal tersebut mutlak dan tidak dapat disanggah. Seperti pada masa internet saat itu. Internet bisa digunakan oleh siapapun juga, artinya para penjahat pun bisa menggunakan internet untuk melancarkan aksi-aksinya.
Hal ini sama juga pada layanan-layanan yang dibeli atau disewa oleh 12 agen Rusia dalam kasus tersebut menggunakan bitcoin. Layanan-layanan tersebut faktanya juga bisa dibeli menggunakan metode pembayaran lainnya, tidak hanya bitcoin. Misalnya, layanan itupun bisa menggunakan juga katru prabayar, dan sebenarnya, penggunaan kartu prabayar ini jauh lebih anonim ketimbang bitcoin.
Faktanya, kartu tersebut dapat dikirim, bahkan diperjual belikan secara global tanpa jejak. Metode lainnya seperti uang tunai misalnya, justru juga lebih anonim. Faktanya, para penyidik dalam kasus tersebut juga bisa mengungkap kasus tersebut. Disini sebenarnya justru memberikan kenyataan sebaliknya atas bitcoin. Transaksi-transaksi dalam bitcoin, selalu akan meninggalkan jejak yang telah terekam di dalam bitcoin. Meskipun, di dalam kasus itu,belum diketahui secara pasti apakah penyidik dalam pengungkapan itu berawal dari tracking wallet bitcoin untuk mengetahui peretas, atau identifikasi peretasnya dulu hingga berujung pada wallet bitcoin mereka.
Stigma atas anonimitas bitcoin dan relevansinya dengan potensi dalam tindak kriminal ini, umumnya dapat dianggap sebagai sebuah hal yang umum terjadi pada masa-masa awal munculnya sebuah teknologi baru. Bitcoin dengan cabang ilmu kriptografi, sebaliknya justru bisa menjadi manfaat untuk meningkatkan keamanan infrastruktur cyber. Kelemahan-kelemahan dunia cyber yang ada saat ini, secara berangsur akan mampu ditingkatkan sisi keamanannya menggunakan cabang ilmu kriptografi yang sejauh ini menjadi kian populer semenjak digunakan oleh bitcoin dan kripto secara umum.