Pada tanggal 10-11 Pebruari lalu di Tuban Jawa Timur, Bahtsul Masail PWNU Jatim membahas Bitcoin dengan beberapa hal lain. Enam hal kajian yang dibahas selama dua hari itu adalah tentang uang elektronik, hukum wudhu bagi penyandang disabilitas, batas dagu wanita yang harus ditutup saat sholat, status miskin yang berhak menerima zakat, dan hutang dibayar hasil panen murah.
Bahtsul Masail di PWNU merupakan salah satu forum diskusi keagamaan dalam keorganisasian NU (Nahdlatul Ulama) di Indonesia. Pembahasan-pembahasan permasalahan-permasalahan majemuk di masyarakat melalui forum Bathsul Masail ini sudah dimulai sejak pertama kali NU didirikan pada bulan Oktober 1926.
Fungsional munculnya Bahtsul Masail atau lembaga Bahtsul Masail Diniya ini adalah sebagai sebuah lembaga yang membahas tentang masalah-masalah keagamaan yang juga memberikan fatwa-fatwa hukum secara keagaaman umat Islam.
Dengan fungsinya sebagai sebuah lembaga fatwa secara keagamaan umat Islam, Bahtsul masail juga mengetahui bahwa tidak seluruh peraturan-peraturan syari’at Islam dapat diketahui secara langsung dari nash Al-quran. Ada banyak aturan-aturan syari’at yang memerlukan daya nalar kritis melalui istimbath hukum. Sehingga pembahasan masalah secara maslahat kemajemukan umat bisa juga berlaku dan relevan dengan kemajuan jaman.
Secara spesifik tentang hukum bitcoin secara fiqh, pada hasil kajian komisi Waqi’iyyah PW NU Jatim lebih memandang bitcoin sebagai sebuah “harta virtual menyerupai dain”, seperti yang telah dituliskan dalam laporan resminya.
Karena berfungsi sebagai sebuah harta virtual, maka bitcoin dapat dijadikan sebagai alat transaksi yang sah, sekaligus bisa juga dijadikan sebagai sebuah instrumen investasi. Atas dasar itu, hasil keputusan komisi Waqi’iyyah Bahtsul Masail PWNU Jatim di Tuban beberapa hari lalu memutuskan penggunaan bitcoin sebagai alat tukar, instrumen investasi maupun jual beli boleh dilakukan.
Meski hasil keputusannya adalah boleh dilakukan, namun Bahtsul Masail PWNU Jatim juga memandang bitcoin masih belum diatur secara pasti oleh pemerintah Indonesia, sehingga pemerintah tidak bisa menjamin keamanan investasi dan mempunyai resiko tinggi karena sepenuhnya bergantung pada pasar.
Hasil pembahasan Bahtsul Masail PWNU Jatim, cukup berbeda dengan Fatwa MUI Malang yang pernah dikeluarkan pada bulan Mei 2016 lalu. Namun, jika melihat hasil kajian yang melatarbelakangi munculnya Fatwa MUI Malang tersebut, masih terkesan cukup tergesa-gesa tanpa didasari dengan pemahaman mendalam tentang bitcoin. Cukup berbeda dengan hasil pembahasan Bathsul Masail PWNU Jatim, yang lebih melakukan kajian lebih tentang bitcoin.
Sementara pada bulan Juni 2015, Charles W. Evans pernah menuliskan sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal perbankan dan keuangan Islam berjudul “Bitcoin in Islamic Banking and Finance”. Dalam makalah yang ditulisnya itu, Charles W. Evans justru lebih komprehensif menjabarkan detail bitcoin yang cukup taat dan lebih mencirikan syariat Islam, sehingga ada perpaduan yang lebih cocok dengan karakter perbankan Islam.
Dalam penjabarannya, Bitcoin dengan teknologi blockchain yang cukup transparan dan bebas dari segala terminologi larangan atas Riba, menjadikannya lebih sesuai dengan prinsip-prinsip maslahah yang menghindarkan kemudharatan. Selain itu, karena adanya resiko yang berlaku sama, juga lebih sesuai dengan prinsip mutualrisk-sharing atau musharakah (Syirkah), cukup berbeda dengan praktek perbankan secara umum dengan pola risk shifting. (adi)
2 Comments
Trimakasih saya sampaikan kpd PWNU JATIM atas keputusan hukum ttg uang digital / bitcoin yg ternyata tdk bertentangan dg syariat islam.sehingga kami tdk ragu lagi ttg hukumnya.