MUI, Majelis Ulama Indonesia menjadi heboh lantaran netizen di Twitter sibuk berbicara terkait Bitcoin dan cryptocurrency. Netizen kemudian banyak membicarakan Bitcoin dari pandangan haram atau halal. Pembicaraan ini pada dasarnya pembicaraan yang sudah lama muncul di komunitas bitcoin, termasuk di Indonesia.
Kehebohan netizen ini akhirnya mencatut pernyataan MUI yang muncul di tahun 2018 silam. Saat itu KH Cholil Nafis selaku Ketua Komisi Dakwah MUI memberikan keterangan yang termuat di Kumparan (14/1/18). Menurut KH Cholil Nafis, Bitcoin hukumnya ada dua, yakni “mubah” dan “haram”.
Bitcoin hukumnya Mubah sebagai alat tuka bagi yang berkenan untuk menggunakannya dan mengakuinya. Namun Bitcoin sebagai investasi hukumnya adalah haram karena hanya alat spekulasi bukan untuk investasi, hanya alat permainan untung rugi buka bisnis yang menghasilkan.
KH Cholil Nafis
Ada kurang lebih 11 catatan khusus yang mendasari pernyataan tersebut. 11 catatan khusus ini kemudian sempat dipublikasikan oleh MUI Sumbar pada tanggal 15 Januari 2018.
Berikut adalah 11 catatan MUI tersebut:
1. Bitcoin adalah bagian dari perkembangan teknologi digital yang ingin membuat alat tukar transaksi bahkan investasi di luar kontrol bank sentral dan pemerintah manapun di dunia manapun. Bitcoin sepenuhnya mekanisme pasar digital tergantung permintaan dan suplai.
2. Bitcoin adalah mata uang digital yang tersebar dalam jaringan peer-to-peer. Jaringan ini memiliki buku akuntansi besar bernama Blockchain yang dapat diakses oleh publik, didalamnya tercatat semua transaksi yang pernah dilakukan oleh seluruh pengguna Bitcoin.
3. Penyebaran Bitcoin dimulai pada tahun 2009 yang diperkenalkan dengan oleh nama samaran Satoshi Nakamoto sebagai mata uang digital yang berbasiskan cryptography. Penggunaan lainnya untuk menunjang kehidupan masyarakat dalam jual beli mata uang digital disebut cryptocurrency.
4. Cryptocurrency adalah mata uang digital yang tidak diberikan regulasi oleh pemerintah dan tidak termasuk mata uang resmi. Bitcoin dibatasi hanya 21 juta, yang dapat diperoleh dengan cara: membelinya atau menambangnya. Ia dapat berguna sbgi alat tukar dan infestasi.
5. Bitcoin pada beberapa negara digolongkan sebagai mata uang asing. Umumnya tidak diakui otoritas dan regulator sebagai mata uang dan alat tukar resmi karena tidak merefresentasikan nilai aset. Transaksi Bitcoin mirip Forex, maka tradingnya kental rasa spekulatif.
6. Sebagian ulama mengatakan, Bitcoin sama dengan uang karena menjadi alat tukar yang diterima oleh masyarakat umum, standar nilai dan alat saving. Namun ulama lain menolaknya sebagai pengakuan masyarakat umum karena masih banyak negara yang menolaknya.
7. Definisi uang: “النقد هو كل وسيط للتبادل يلقي قبولا عاما مهما كان ذلك الوسيط وعلى أيّ حال يكون” “uang: segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima secara umum, apa pun bentuk dan dalam kondisi seperti apa punt”. Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami, 1996, h.178.
8. Fatwa DSN MUI Transaksi jual beli mata uang adalah boleh dengan ketentuan: Tidak untuk spekulasi, ada kebutuhan, apabila transaksi dilakukan pada mata uang sejenis nilainya harus sama dan tunai (attaqabudh). Jika berlainan jenis harus dengan kurs yang berlaku saat transaksi dan tunai.
9. Bitcoin sebaga alat tukar hukumnya boleh dengan syarat harus ada serah terima (taqabudh) dan sama kuantitas jika jenisnya sama. Dan jika jenisnya berbeda disyaratkan harus taqabudh secara haqiqi atau hukmi (ada uang, ada bitcoin yang bisa diserahterimkan).
diqiyaskan dengan emas dan perak, semua benda yang disepakati berlaku sebagai mata uang dan alat tukar. Meskipun bahannya bukan emas dan perak. Dalam Tarikh al-Baladziri disebutkan,
وقد همَ عمر بن الخطاب -رضي الله عنه- باتخاذ النقود من جلد البعير. وما منعه من ذلك إلا خشية على البعير من الانقراض
Bahwa Umar bin Khattab berkeinginan membuat uang dari kulit unta. Namun rencana ini diurungkan karena khawatir, onta akan punah. (Futuh al-Buldan, al-Baladziri)
Sekalipun keputusan ini tidak dilaksanakan, tapi kita bisa melihat bahwa para sahabat mengakui bolehnya memproduksi mata uang dengan bahan dari selain emas dan perak. Rencana ini dibatalkan, karena mengancam poopulasi onta. Bisa saja, ada orang yang menyembelih onta, hanya untuk diambil kulitnya. Sementara dagingnya bisa jadi tidak dimanfaatkan. Andai bukan kebijakan masalah kelestarian onta, akan diterbitkan mata uang berbahan kulit onta.
Inilah yang menjadi dasar para ulama, bahwa mata uang tidak harus berbahan emas dan perak. Imam Malik pernah mengatakan,
لو أن الناس أجازوا بينهم الجلود حتى تكون لهم سكة وعين لكرهتها أن تباع بالذهب والورق نظرة
“Andaikan orang-orang membuat uang dari kulit dan dijadikan alat tukar oleh mereka, maka saya melarang uang kulit itu ditukar dengan emas dan perak dengan cara tidak tunai”. (Al-Mudawwanah Al-Kubra, 3/90).
10. Bitcoin sebagai investasi lebih dekat pada gharar (spekulasi yang merugikan orang lain). Sebab keberadaannya tak ada aset pendukungnya, harga tak bisa dikontrol dan keberadaannya tak ada yang menjamin secara resmi sehingga kemungkinan besar banyak spekulasi ialah haram.
11. Bitcoin hukumnya adalah mubah sebagai alat tukar bagi yang berkenan untuk menggunakannya dan mengakuinya. Namun Bitcoin sebagai investasi hukumnya adalah haram karena hanya alat sepekulasi bukan untuk investasi, hanya alat permainan untung rugi buka bisnis yang menghasilkan.
Bisa jadi, landasaan pernyataan dan pandangan tentang Bitcoin ini muncul berdasarkan adanya fatwa dari Darul Ifta Al-Azhar Mesir yang muncul pada 28 Desember 2017.
Berdasarkan kajian dari Al-Azhar saat itu, Bitcoin memiliki status haram secara syariat. Penyebabnya disebut memiliki unsur gharar. Di dalam kajian fikih, gharar mengandung makna adanya keraguan, pertaruhan (spekulasi), dan ketidakjelasan yang bisa merugikan salah satu pihak.
Hanya berselang sekitar satu bulan dari keluarnya fatwa dari Al Azhar selang satu bulan, MUI kemudian menyebut bahwa Bitcoin memiliki dua hukum terpisah, yakni mubah dan haram. Mubah dalam hal ini digunakan sebagai alat tukar bagi dua pihak yang saling menerima. Sedangkan bitcoin juga haram jika diberlakukan dan digunakan sebagai investasi.
Pada dasarnya, dialektika tentang hukum Halal dan Haram dari MUI saat itu bisa dinilai sudah cukup ada titik terangnya. Pasalnya, MUI sudah berupaya untuk mengeluarkan pendapatnya dengan menyebut Bitcoin Mubah, meskipun Bitcoin juga disebut harap secara bersamaan. MUI memandang Mubah sebagai alat tukar, yang mengindikasikan boleh digunakan, bagi mereka yang berkenan menggunakan dan mengakuinya sebagai alat tukar.
Sudah Muncul Pendapat Berbeda Dengan MUI Sejak Lama
Masih di tahun yang sama pendapat berbeda juga sudah muncul dari Bahtsul Masail PWNU Jatim pada bulan Februari 2018. Bermula dari pertemuan Bahtsul Masail PWNU Jatim yang digelar di Tubah Jawa Timur pada 10-11 Februari 2018.
Di forum tersebut, ada sekitar 6 hal yang dibahas. Mulai dari hukum wudhu bagi penyandang disabilitas, dan lain-lain. Salah satu hal yang dibahas pada kesempatan itu adalah tentang Bitcoin sebagai uang elektronik.
Menurut kajian Bahtsul Masail PWNU Jatim, Bitcoin sebagai harta virtual, Bitcoin dapat dijadikan sebagai alat transaksi yang sah, sekaligus dapat pula dijadikan sebagai instrumen investasi. Sehingga bitcoin juga dapat berfungsi sebagai alat tukar, maupun sebagai instrumen investasi serta jual dan beli.
Pada tahun 2020, Mufti Perlis Malaysia, Dr Asri Zainul Abidin, bahkan sudah menganggap bitcoin juga bisa dikenakan zakat apabila telah mencapai nisabnya. Hal tersebut sesuai dengan fatwa no 42 yang diterbitkan tahun 2019 oleh Komisi Fatwa Negeri Bagian Perlis sebagai ulama tinggi di Malaysia. Bahkan dalam fatwa tersebut, pembayaran zakat juga bisa dilakukan menggunakan mata uang Bitcoin (BTC).
Belum lama ini, kehebohan pandangan MUI yang lalu itu juga mendapat komentar dari Fahmi Salim, Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menurutnya, dunia Islam belum ada fatwa khusus yang dapat dijadikan pedoman untuk bersama-sama menyepakati hukum uang kripto.
Alasannya karena tingkat kebaruan dunia kripto yang cukup rumit. Hal tersebut membuat para ulama sebagian besar tidak tergesa-gesa memberi hukum, termasuk Muhammadiyah. “Para fuqaha sangat berhati-hati untuk memfatwakannya,” tertulis dalam halaman resmi Muhammadiyah.
Namun secara pribadi, Fahmi Salim berpendapat bahwa hukum mata uang kripto tergantung pada penggunaannya apakah digunakan untuk kebaikan atau kejahatan. “Teknologi ‘kripto’ ini sebetulnya adalah bebas nilai. Kalau digunakan untuk melahirkan produk yang haram atau jasa yang haram, maka produknya haram. Kalau digunakan untuk menghasilkan yang halal maka produknya bisa tetap halal,” jelasnya.