Akademisi dari Universitas Princenton dan Universitas Internasional Florida dalam laporan penelitannya menyebut China bisa hancurkan Bitcoin. Di dalam hasil penelitiannya yang dipublikasikan 5 Oktober lalu, China punya potensi untuk mengancam keamanan, stabilitas, inftrastruktur internet, hingga dan keberlangsungan ekonomi bitcoin.
China dianggap yang paling kuat dan berpotensi terhadap keberlangsungan bitcoin. Pada ekosistem pertambangan di dalam jaringan bitcoin misalnya, sebagian besar berasal dari para penambang di China. Hal tersebut diperkuat karena China lebih mendominasi vendor ASIC selama ini.
Sedangkan hashrate keseluruhan jaringan Bitcoin, 80 persen berasal dari 6 mining pool besar. Sedangkan 5 diantaranya berasal dari perusahaan pertambangan China. Hal ini memang menjadi perhatian utama yang berpotensi penguasaan jaringan. Desentralisasi Bitcoin bisa menjadi terpusat karena ada penguasaan tersebut.
Karena pengaruh penguasaan ekosistem pertambangan, berujung dengan potensi terjadinya 51% attack. Meskipun masing-masing penambang besar tersebut tidak cukup mampu untuk melancarkan 51% attack, namun dapat dilakukan jika penambang-penambang besar tersebut saling bekerja sama untuk menguasai keseluruhan hashrate.
Ekosistem pertambangan, menjadi hal yang paling krusial sebagai penggerak utama Bitcoin. Maing-masing simpul node melalui para penambang diibaratkan membawa satu suara di antara seluruh ekosistem Bitcoin. Sehingga tiap-tiap simpul node juga punya peluang untuk menerima ataupun menolak konsensus protokol Bitcoin.
Pada laporan penelitian itu juga menyebutkan bahwa China memang tidak bisa secara langsung menguasai pertambangan. Namun hal itu bisa dilakukan melalui regulasi atau aturan-aturan yang membatasi ruang gerak penambang, atau sekaligus juga hal yang lainnya.
Potensi-potensi politik yang sifatnya tidak langsung ini tetap saja memungkinkan untuk terjadi. Pihak pemegang kebijakan di China, mungkin bisa saja menekan manager pool mining yang ada, lantas mempengaruhi protokol bitcoin jika hashrate pertambangan telah dikuasai.
Beberapa hal yang pernah terjadi, bagaimana sebagian penambang dari China menghambat jaringan bitcoin karena kerap menambang block kosong. Peristiwa ini kerap terjadi ketika sebelum ada forking Bitcoin dan beberapa waktu setelahnya.
Di dalam bitcoin sendiri, memang sempat terjadi era peperangan varian core bitcoin. Semua ekosistem bitcoin, memang mempunyai kebebasan untuk menggunakan varian core lain. Selama hal tersebut masih akan tetap selaras dengan protokol yang berlaku. Jika tidak, maka penambang lain akan menolak dan tetap berjalan sesuai dengan protokol yang ada. Ketika sudah tidak ada jalan tengah, maka yang terjadi adalah pemisahan jaringan seperti yang telah terjadi sebelumnya.
Karena perbedaan penggunaan varian core tadi, sebagian besar penambang cukup gencar menambang block kosong. Jumlahnya juga luar biasa tinggi, mencapai diatas 7 persen di periode tertentu. Jika block kosong ini kerap muncul, tentu saja proses validasi transaksi terhambat. Hambatan ini kemudian mampu diatasi dengan BIP152.
Karena transaksi-transaksi bitcoin jadi menumpuk dan tidak tervalidasi, dan tidak ada transaksi valid yang dimasukkan ke dalam block. Sedangkan penambang lainnya tetap konsisten menghasilkan block penuh hingga 2 persen.
Secara keseluruhan, hasil laporan penelitian tersebut membagi potensi serangan yang memungkinkan terjadi dalam 4 bagian. Empat klasifikasi tersebut seperti Censorship, deanonimisasi, pelemahan konsensus, dan gangguan ekosistem pertambangan.
Dan yang paling dianggap menakutkan adalah Goldfinger Attack. Serangan ini maksudnya adalah jika para penambang-penambang besar tersebut saling menggabungkan power hash yang dimiliki untuk menguasai jaringan bitcoin.