BitcoinMedia – Jejak Karbon Bitcoin. Susanne Kohler dan Massimo Pizzol merilis hasil penilitian baru terkait dengan jejak karbon Bitcoin melalui ekosistem pertambangannya. Rilis hasil penelitian itu bertajuk “Life Cycle Assessment of Bitcoin Mining” hari Rabu pekan lalu (20/11/19).
Hasil penelitian jejak karbon Bitcoin itu menunjukkan ada penurunan yang cukup signifikan. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Camilo Mora, Randi L. Rollins, Katie Taladay, Michael B. Kantar, Mason K. Chock, Mio Shimada dan Erik C. Franklin di tahun 2018, terpaut cukup jauh.
Pada hasil penelitian tahun 2018 itu, disebutkan bahwa jejak karbon Bitcoin sebesar 63 megaton CO2 per tahun. Dasar penelitian ini juga tentu saja banyak mengambil referensi dari berbagai penelitian yang telah ada sebelumnya, terutama dari hasil penelitian Alex de Vries di Digiconomist.
Sementara pada hasil penelitian Susanne Kohler dan Massimo Pizzo yang berasal dari Universitas Aalborg di Denmark menemukan jejak karbon yang lebih rendah senilai 17,29 CO2 saja di tahun 2018. Hasil ini nampak sesuai dengan yang dituliskan oleh Robert Sharrat menanggapi hasil riset Alex de Vries yang banyak termuat di Digiconomist.
Kritik besar yang disebutkan oleh Robert Sharrat kepada Alex de Vries menyebut hasil penelitian itu mentah dan tidak berdasar. Robert saat itu sudah menyinggung bahwa perbandingan yang disuguhkan tidak komparatif. Mengingat Alex de Vries mencoba membandingkan ekosistem Bitcoin yang “standalone” dengan Visa atau Mastercard yang tidak mampu berdiri sendiri, tidak seperti Bitcoin.
Dalam sisi akumulasi data yang dilampirkan, Robert juga melihat bahwa Alex bahkan tidak mengetahui penggunaan energi terbarukan yang sudah mulai banyak dipergunakan di pertambangan Bitcoin. Robert memberikan contohnya, bahwa di Sinchuan China, Ukraina, Quebec, Irlandia, dan banyak lokasi lain sudah menggunakan Hidroenergy. Di Sinchuan China sendiri, 70 persen alokasi listriknya berasal dari energi terbarukan, hydroenergi.
Sedangkan pada hasil penelitian Susanne Kohler dan Massimo Pizzo, sudah mulai cukup berimbang dengan melihat lebih terperinci di tiap-tiap regional. Emisi di Tiongkok, yang dianggap punya wilayah pertambangan lebih besar, analisa di tiap regionalnya jauh lebih rendah.
Untuk di Mongolia, yang menggunakan bahan bakar batu bara itupun hanya menyumbang sekitar 12,3% dari total penambangan Bitcoin, namun lebih banyak menghasilkan jejak karbon yang lebih besar. Nilainya lebih dari seperempat total emisi.
Sedangkan di Sinchuan China, terbukti terkecil di China hanya 4,6% lantaran kaya dengan energi listrik tenaga air, Hydroenergy. Meski kedua peneliti tersebut dalam penelitiannya mencoba untuk membuat pendekatan yang lebih detail, namun keduanya masih merasa akumulasi perhitungan jejak karbon Bitcoin tetaplah rumit.
Baik keduanya masih menilai belum memiliki data yang lebih akurat. Menurut Camilo Mora dari Universitas Hawai, menilai hasil penelitian itu masih memerlukan transparansi mendalam. Terutama pada lokasi-lokasi pertambangan, termasuk dengan detail perangkat mining yang dipergunakan.